Mohon tunggu...
Muhammad Iqbal Rosyidi
Muhammad Iqbal Rosyidi Mohon Tunggu... Petani - Suka iseng dan mikir acak

Peneliti di Kementerian Pariwisata Republik Indonesia. Tertarik dengan isu kepariwisataan, lingkungan, dan perkotaan.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Apakah "Travel Bubble" Solusi bagi Kepariwisataan Indonesia?

26 Mei 2020   15:40 Diperbarui: 27 Mei 2020   10:12 1035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Satoshi Kambayashi via https://www.economist.com/

Kunjungan wisatawan mancanegara ke berbagai destinasi wisata di Indonesia selalu dianggap sebagai salah satu tulang punggung bagi perekonomian Indonesia. 

Adanya pandemi Covid-19, sangat memukul industri yang menyerap setidaknya 13 juta tenaga kerja dan menghasilkan devisa 280 triliun rupiah pada tahun 2019 tersebut. 

Dibandingkan sektor lainnya, industri yang memiliki karakteristik adanya perjalanan dan kontak antar manusia tersebut merupakan industri yang terdampak paling parah. 

Akibatnya, kerugian materiil merupakan hal yang tidak bisa dihindari oleh sejumlah usaha perjalanan dan pariwisata, baik yang konvensional maupun yang berbasis internet. 

Hingga 25 Mei 2020, jumlah penambahan kasus positif Covid-19 di Indonesia secara keseluruhan belum menunjukkan adanya tren penurunan dalam kurun 2 pekan ke belakang. Beberapa provinsi masih menunjukkan peningkatan jumlah kasus positif, salah satunya Jawa Timur. 

Meski demikian, beberapa provinsi mulai menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah kasus positif Covid-19. Namun demikian, jumlah kasus positif tersebut masih perlu diperjelas lagi, mengingat jumlah test yang telah dilakukan per provinsi tidaklah sama. Secara keseluruhan, Indonesia masih harus berjuang keras untuk flatten the curve.

Sejumlah negara seperti Tiongkok dan Korea Selatan yang telah lebih dahulu mengkonfirmasi adanya penyebaran Covid-19, kini telah berhasil menekan jumlah penyebaran di negaranya. 

Aktivitas pariwisata di negara tersebut yang hampir lumpuh total sejak bulan Februari yang lalu, kini mulai menunjukkan geliatnya kembali. Misalnya, Tiongkok yang sukses mengengendalikan wabah di Wuhan, telah membuka kembali sejumlah objek wisata di negara tersebut. 

The Great Wall adalah salah satunya. Berbagai moda transportasi antar kota di Tiongkok pun juga kembali beroperasi dengan mengimplementasikan sejumlah protokol kesehatan dan keselamatan perjalanan.

Hal serupa juga terjadi di berbagai negara di dunia, terutama mereka yang dalam dua pekan terakhir berhasil mengendalikan penyebaran virus di negaranya. 

Mereka mulai berinisiatif untuk membuka kembali aktivitas perjalanan dan pariwisata. Untuk merealisasikannya, sejumlah negara tersebut kemudian membentuk travel bubble. 

Istilah travel bubble sendiri saat ini sedang hangat diperbincangkan di dunia, yang diprediksi menjadi salah satu jalan untuk menghidupkan kembali aktivitas pariwisata internasional. 

Travel bubble atau disebut juga sebagai corona corridor maupun safe travel corridor merupakan bentuk kerjasama antar dua negara atau lebih yang secara epidemiologis telah sukses menurunkan jumlah kasus penyebaran Covid-19 dan memiliki kapasitas pelayanan kesehatan, pengujian, pengawasan, hingga telusur kontak yang memadai dan layak. 

Masyarakat yang tinggal di dalam bubble akan dapat melakukan perjalanan dengan bebas tanpa harus mengikuti persyaratan karantina mandiri. Langkah tersebut tentunya akan memangkas berbagai prosedur sehingga masyarakat dapat melintasi perbatasan secara 'simpel'.

Estonia, Lituania, dan Latvia, yang ketiganya merupakan negara Baltik, adalah negara-negara yang pertama kali mencetuskan ide ini dan berhasil mengimplementasikannya pada 15 Mei yang lalu. 

Sebagai negara yang bertetangga, memiliki kemiripan kultur, dan telah sukses menangani penyebaran Covid-19 (setidaknya sejauh ini), travel bubble adalah upaya yang sangat mungkin dan cukup aman untuk dilakukan guna memacu kembali perekonomian melalui aktivitas perjalanan wisata lintas negara.  

Australia dan Selandia Baru; Republik Ceko, Slovakia, dan Kroasia; serta Yunani, Cyprus, dan Israel saat ini sedang menjajaki berbagai kemungkinan untuk menerapkan travel bubble di negaranya.

The Economist memprediksi akan muncul berbagai bubble lainnya, terutama di benua Eropa dan Asia Pasifik. Prediksi tersebut, didasarkan pada perkembangan epidemiologis penyebaran Covid-19 pada masing-masing negara. 

Untuk di benua Eropa, koridor pariwisata lintas negara dapat membentang dari kawasan Baltik hingga Adriatik, yaitu dari Norwegia hingga Yunani dan Cyprus. Sedangkan di Asia Pasifik, bubble dimungkinkan terjadi di negara Asia Timur yang membentang dari Jepang, Tiongkok, hingga Thailand.  

Koridor ini setidaknya mampu berkontribusi setidaknya 27% dari GDP dunia.  Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Singapura yang saat ini masih berjuang menekan jumlah penyebaran, tidak dimasukkan dalam potensi travel bubble di Asia Pasifik. 

Meski travel bubble membawa sejumlah keuntungan, terutama bagi negara kecil, namun tetap ada tantangan yang dihadapi di antara negara-negara tersebut. 

Adalah komunikasi mengenai peraturan dan petunjuk keamanan di antara negara yang berada di dalam bubble tersebut yang harus disampaikan secara jelas. 

Dalam arti lain, negara harus memberikan jaminan agar wisatawan dari partner destination percaya diri untuk mengambil resiko melakukan perjalanan ke luar negeri. 

Kebijakan pemerintah yang tegas dan jelas bagi wisatawan dan pelaku usaha menjadi kunci utama. Selain itu, meski akan menggairahkan kembali harapan pulihnya aktivitas pariwisata internasional, travel bubble bukan merupakan solusi jangka panjang. 

Hal tersebut tentunya bergantung pada perkembangan penyebaran Covid-19 di sebuah negara di waktu yang akan datang. Bisa jadi negara yang saat ini masuk ke dalam bubble akan didepak di kemudian hari karena adanya gelombang lanjutan penyebaran Covid-19.

Bagaimana dengan negara-negara yang saat ini masih dilanda penyebaran virus yang parah? Kemungkinan negara-negara tersebut dapat membentuk bubble, namun bukan arus jasa dan pergerakan manusia, melainkan arus barang. 

Dalam hal ini, sebuah negara tetap diharuskan berbagi data dengan negara mitra, menyangkut jumlah kasus, jumlah pengujian, bagaimana menelusur kasus hingga bagaimana mengisolasi pasien. Kepercayaan dan kepercayaan diri saat ini menjadi modal utama untuk bekerjasama dengan negara mitra. 

Melihat hal ini, Pemerintah Pusat, yang nampaknya menangkap adanya peluang dan melihat kondisi dari negara lain, telah menyusun sejumlah protokol kesehatan, kebersihan, serta keamanan dan keselamatan. 

Pemerintah berupaya secepat mungkin untuk menghidupkan kembali mesin perekonomian yang sempat tersendat sejak bulan Maret 2020. Hal tersebut dibuktikan, salah satunya, dengan dibukanya kembali beberapa penerbangan domestik yang penting. 

Media sosial pun sempat diramaikan dengan rencana Pemerintah untuk menghidupkan kembali sejumlah sektor perekonomian esensial pada bulan Juni, termasuk mewajibkan pegawai pada sektor esensial untuk kembali aktif bekerja. 

Berbagai media massa pun telah mengabarkan tentang rencana dibukanya kembali aktivitas perekonomian, termasuk pariwisata, di sejumlah daerah yang telah dianggap 'berhasil' menekan jumlah penyebaran kasus Covid-19. Di antaranya Yogyakarta, Bali, dan Kepulauan Riau.

Meski telah menetapkan sejumlah protokol untuk mencegah adanya penyebaran dan penularan Covid-19 di Indonesia, Pemerintah Pusat dan Daerah tetap wajib mewaspadai adanya penyebaran dengan klaster-klaster baru, terutama di daerah yang akan dibuka kembali aktivitas perekonomiannya. Pemerintah perlu mempertimbangkan pendekatan yang dilakukan berbagai negara untuk membentuk travel bubble. 

Dalam hal ini, untuk memulai kegiatan pariwisata, daerah atau provinsi harus memenuhi persyaratan: secara epidemiologis telah berhasil menekan laju penyebaran kasus Covid-19, setidaknya selama 14 hari ke belakang serta memiliki kapasitas fasilitas dan pelayanan kesehatan publik yang memadai dimungkinkan. 

Daerah yang telah memenuhi kriteria tersebut dapat menjalin "hubungan" dengan daerah atau provinsi yang mengalami hal serupa. Barangkali, jika diperlukan dan mungkin dilakukan, tingkat kepercayaan diri masyarakat dan pelaku usaha di daerah tersebut perlu menjadi pertimbangan sebelum memulai kembali aktivitas pariwisata. 

Seperti yang berlaku di negara lain, kepercayaan, terpercaya, dan kepercayaan diri pemerintah daerah, masyarakat, hingga pelaku usaha adalah komponen utama untuk membangun kembali aktivitas pariwisata.

Di tengah langkah travel bubble yang ramai digunakan berbagai negara, Pemerintah tentu wajib berhati-hati untuk mengikuti langkah tersebut. Pendekatan berbasis 'kepercayaan' data penanganan Covid-19 antar daerah perlu diimplementasikan untuk membuka kembali aktivitas pariwisata di Indoneisa. Indonesia sebenarnya memiliki potensi pariwisata domestik yang sangat besar. 

Barangkali, tahun ini adalah momen yang tepat untuk dapat membuktikan besarnya kekuatan dan kontribusi pariwisata domestik Indonesia. 

Pariwisata domestik, yang seringkali luput dari perhatian, perlu didorong untuk menjadi mesin penggerak perekonomian pascapandemi Covid-19. 

Meskipun demikian, Pemerintah sebagai pengambil kebijakan perlu dengan bijak mengambil setiap langkah untuk tetap melindungi segenap bangsa Indonesia untuk keluar dari kesengsaraan akibat Covid-19.

Ke depan, bangsa Indonesia masih akan tetap diuji kekompakannya dalam menekan dan berhasil memenangkan pertempuran melawan Covid-19. Pengambil kebijakan, aparat penegakan hukum, dan masyarakat. Pemerintah, wakil rakyat, akademisi, ilmuwan, dan pelaku usaha. 

Semuanya harus saling bahu membahu, penuh kasih sayang dan pengertian, serta gotong royong untuk mencapai satu tujuan bersama: segera memenangkan pertempuran melawan Covid-19 dan meminimalkan dampak negatifnya bagi bangsa Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun