Pembangunan Pulau Rinca di Taman Nasional Komodo (TNK) mengundang polemik dari beragam pihak. Tulisan ini akan mengulas polemik pembangunan TNK dari sudut pandang akses penduduk dalam kawasan (lokal) terhadap sumber daya pariwisata dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Tulisan ini berdasarkan riset yang dilakukan penulis beberapa waktu lalu.
Sejak diterbitkannya peraturan tentang pemanfaatan kawasan Taman Nasional Komodo sebagai tempat tujuan pariwisata alam pada tahun 1994, pariwisata dalam kawasan Taman Nasional Komodo telah menjadi babak arena baru.
Kawasan Taman Nasional Komodo dikondisikan sebagai arena daya tarik wisata alam, yang akan menimbulkan konflik kepentingan untuk memperebutkan akses ke sumber daya pariwisata.
Sumber daya pariwisata yang menjadi daya tarik utama wisata. Daya tarik utama wisata yaitu adanya reptile raksasa purba biawak komodo (varanus komodoensis), panorama alam padang savanna dan panorama alam bawah laut yang berpotensi sebagai daya tarik pendukung wisata.
Lokasi sumber daya pariwisata antara lain; Loh Liang, Loh Sebita, Pink Beach, Gili Lawa, Pulau Padar, Loh Buaya, Pulau Kelor, Pulau Kalong, Pulau Strobery, Batu Balok, Pulau Tatawa, Loh Dasami, Manta Point, Crystal Rock, Pillar Steen, Batu Bolong dan Taka Makasar.
Sumber daya pariwisata tersebut merupakan perebutan bagi mereka yang dapat memperoleh, mempertahankan dan mengendalikan akses. Memiliki arti bahwa akses adalah suatu bentuk kemampuan untuk mendapatkan keuntungan.
Sebelum Taman Nasional hadir, penduduk dalam kawasan TNK dapat mengakses sumber-sumber penghidupan seperti mencari ikan, bercocok tanam, berburu rusa.
Kemudian ketika Taman Nasional hadir, akses mereka terhadap sumber daya dibatasi melalui sistem zonasi, sehingga dari berkembangnya sistem zonasi membuat penduduk dalam kawasan TNK beralih mata pencahariannya ke bidang pariwisata.
Sistem Zonasi
Sistem zonasi di Taman Nasional Komodo setidaknya mengalami perubahan minimal 4 kali. Perubahan sistem zonasi mengikuti kondisi politik pada kepentingan setiap rezim, bermula tahun 1977, 1992, 1998, 2000 dan yang terakhir pada tahun 2012.
Usulan-usulan perubahan terjadi disetiap zona yang semula hanya zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan, kemudian ketiga zona itu disusun menjadi 12 zonasi di Taman Nasional Komodo.
Bagaimanapun kondisi sistem zonasi yang diterapkan, tidak memberikan keuntungan kepada penduduk dalam kawasan TNK. Penduduk dalam kawasan dituntut untuk menyesuaikan kehidupannya dibawah bayang-bayang peraturan TNK. Bahkan pemerintahan desa pun tidak memiliki otonomi yang kuat ketika desa sedang terancam kehilangan asset desa yang berpotensi pada objek daya tarik wisata.
Penduduk dalam kawasan TNK tidak sedikit bergeser terlibat dalam rantai ekonomi pariwisata, antara lain: jasa home stay, usaha kapal wisata, usaha dive, agen travel, guide dan naturalis guide.
"Ketika Taman Nasional hadir, akses mereka terhadap sumber daya dibatasi melalui sistem zonasi, sehingga dari berkembangnya sistem zonasi membuat penduduk dalam kawasan TNK beralih mata pencahariannya ke bidang pariwisata."
Disaat bersamaan, pemerintah sedang gencar-gencarnya menerapkan pariwisata berbasis investasi, melalui pembangunan destinasi wisata super premium. Pemerintah dengan tangan terbuka menerima pihak swasta mengelola zona pemanfaatan TNK untuk kegiatan bisnis pariwisata alam.
Konsesi Ruang
Saat ini, persentase lahan konsesi sudah mencapai 15% dari total luas wilayah zona pemanfaatan yang pembangunannya melibatkan para pihak swasta atau korporasi.
Akses para pihak swasta memanfaatkan keuntungan dalam mengambil alih penguasaan sumber daya pariwisata yang bersifat mengeksklusi penduduk setempat.
Pasalnya, untuk memperoleh akses ke sumber daya pariwisata tersebut, para pihak swasta menggunakan mekanisme akses secara struktur dan relasional dapat dilampaui dengan mudah.
Sejak tahun 2003, banyak pihak swasta atau korporasi yang terlibat didalam pengelolaan dan pengendalian akses ke sumber daya pariwisata di Taman Nasional Komodo.
Pihak pemerintah pun sudah memberi konsesi ke beberapa korporasi diantaranya; PT Putri Naga Komodo dan PT Jayatasa Putrindo Utama serta lembaga swasta konservasi dari Amerika Serikat yaitu The Nature Conservancy (TNC). Hadirnya konsorsium korporasi yang disebutkan, tidak terlepas dari dukungan internasional terkait dengan dinobatkannya TNK sebagai World Heritage Site oleh UNESCO tahun 1991.
Konsorsium korporasi diatas, memperoleh akses terhadap konsesi lahan seluas 160 Ha dan berjalan dengan rencana pengelolaan selama 25 tahun, namun berakhir kandas ditahun 2010.
Kegiatan bisnis pariwisata di TNK tidak berjalan dengan lancar, sehingga operasi konsorsium korporasi diberhentikan dan kerjasama antar korporasi berakhir. Alasan pemberhentian dan berakhirnya mereka sampai saat ini masih belum diketahui kejelasannnya.
Kontestasi pihak swasta masih berlanjut, kini banyak bermunculan korporasi swasta yang sudah mengisi hampir seluruh kuota dari sisa total luasan zona pemanfaatan, secara sengaja dikelola menjadi kegiatan bisnis pariwisata.
Konsep destinasi wisata super premium digagas oleh pemerintah dan beberapa korporasi yang sudah menerima konsesi untuk kegiatan bisnis pariwisata di dalam kawasan TNK. Beberapa perusahaan yakni PT Synergindo Niagatama (SN), PT Flobamora-BUMD, PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) dan PT Segara Komodo Lestari (SKL) pasca berakhirnya konsorsium perusahaan (PT. PNK, TNC dan PT. JPU).
Wisata Super Premium
Konsep destinasi wisata super premium tidak sedikit yang mengkritik dan menolak dari kalangan para pegiat lingkungan, pelaku wisata, dan penduduk desa dalam kawasan TNK.
Sekarang, pembangunan destinasi wisata super premium sudah mulai pada tahap pengerjaan. Nampaknya, pembangunan pariwisata super premium oleh pemerintah tetap akan dipaksakan berlanjut, meskipun didalamnya sendiri menghilangkan prinsip-prinsip konservasi dan ecotourism di kawasan TNK.
Mengapa demikian? Secara desain bangunan seperti lingkaran sirkus yang mengelilingi objek pertunjukan. Serta pemakaian bahan bangunan salah satunya semen atau beton menyalahi aturan.
Semestinya tidak boleh ada bangunan permanen yang berskala luas di dalam kawasan konservasi. Kemudian prinsip ecotourism seharusnya melibatkan penduduk setempat untuk mengelola dan memberikan narasi pengetahuan sejarah kepada wisatawan yang berkunjung.
Pembangunan destinasi wisata super premium sudah tampak jelas di Loh Buaya, Pulau Rinca. Destinasi wisata tersebut yang bertemakan “Jurassic Park” dengan lahan seluas 1,3 hektar, terdapat infrastruktur berupa jalan elevated, café, toilet public, gudang, klinik, ruang terbuka wisatawan, selfie spot, sentra souvenir, sumur bor, penginapan peneliti dan lain-lain.
Disamping itu juga, terdapat lahan konsesi untuk bisnis sarana pariwisata alam berupa resort atau hotel, restaurant, sarana transportasi, office park diatas lahan seluas 22,1 ha. Zona pemanfaatan Loh Buaya dikelola oleh PT Segara Komodo Lestari (SKL) dengan total nilai proyek 69 miliyar.
Sama seperti halnya PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE), memiliki ijin usaha bisnis pariwisata di Loh Liang Pulau Komodo dan Pulau Padar. Di Pulau Komodo, akan digunakan untuk wisata kelas super premium dengan tarif masuk sistem keanggotaan sebesar 1000 USD atau setara dengan 14 juta rupiah per wisatawan.
Di Pulau Komodo, PT KWE bermitra dengan PT Flobamora miliki BUMD yang akan membangun fasilitas rest area, villa, restoran dan penginapan staff diatas lahan seluas 151,94 ha. Pulau Padar, atas dasar dari ijin investasi di tahun 2015, PT KWE menerima konsesi lahan seluas 274,13 ha yang akan dibangun falilitas rest area dan dermaga kelas premium.
Pulau Tatawa ijin pengelolaan usaha wisata diberikan kepada PT Synergindo Niagatama diatas lahan seluas 17 ha. Bergeser ke sisi tenggara TNK, terdapat Pulau Muang di dekat Gili Mori. Rencananya pemerintah akan mengeluarkan atau mengubah pulau tersebut dari kawasan konservasi TNK.
Pulau Muang akan dibangun hotel berbintang lima dan convention center untuk persiapan KTT G-20 tahun 2023. Pulau dengan luas lahan 560 ha tersebut dinamakan sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) Indonesia.
Pada tahun 2018, PT KWE dan PT SKL atas pertimbangan dan keputusan Dirjen KSDAE statusnya menjadi status quo. Perusahaan-perusahaan tersebut menerima ijin usaha yang disebut IUPSWA (Ijin Usaha Penyedia Sarana Wisata Alam) dengan jangka waktu 55 tahun. IUPSWA dapat diperuntukan untuk usaha sarana wisata tirta, usaha sarana akomodasi, usaha sarana wisata pertualangan, usaha sarana transportasi.
Resolusi
Bagaimanapun situasi politik dan ekonomi saat ini, penduduk desa dalam kawasan dan pelaku wisata tidak lagi diuntungkan secara insentif ekonomi. Kebijakan pemerintah tentang destinasi wisata super premium alih-alih akan menyejahterakan ekonomi rakyat, justru memunculkan ketimpangan akses ke sumber daya pariwisata.
Selama periodisasi ijin usaha, pengelolaan Taman Nasional Komodo selalu mengalami pola peraturan yang berbeda-beda dan relasi kekuasaan yang berganti. Hal tersebut menunjukan pasang surut perubahan akses yang dialami oleh penduduk desa dalam kawasan TNK.
Sebab, ketika pihak korporasi dapat memperoleh, mempertahankan dan mengendalikan akses terhadap sumber daya pariwisata di lain sisi penduduk desa dalam kawasan dan pelaku wisata mengalami eksklusi.
Ada beberapa mekanisme akses secara struktur dan relasional yang diperoleh, dipertahankan dan dikendalikan oleh pihak swasta yaitu akses capital (modal), akses otoritas, akses market (pasar), akses tekonologi dan akses pengetahuan.
Menurut penulis, dari segi sosial, pemerintah harus memberikan kesempatan atau peluang pada penduduk dalam kawasan TNK untuk mengelola dengan prinsip ekoturisme berbasis local community. Dari segi otoritas, tingkatkan power local community seperti peraturan asset desa bersama. Berikutnya, mendorong wilayah zona pemanfaatan untuk dikelola ijin usaha atas badan usaha milik desa (BUMDes) dalam kawasan TNK.
Tak kalah pentingnya, mendorong amenitas berupa fasilitas publik dari pemerintah seperti, trasnportasi laut, listrik, air, dan jaringan untuk aktivitas ekonomi berputar dalam ekoturisme berbasis local community.
Terakhir, dari segi lingkungan, seharusnya tidak mengubah bentang alam Taman Nasional Komodo sesuai keasliannya dan menjaga keanekaragaman hayati di darat dan di laut.
Muhammad Iqbal Naufal
Peneliti “Akses Masyarakat Terhadap Sumber Daya Pariwisata Dalam Kawasan Taman Nasional Komodo”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H