Mohon tunggu...
Iqbal Naufal
Iqbal Naufal Mohon Tunggu... Konsultan - terbangun dalam kegelapan

I have a full concentration on understanding: community development, research and social analysis, conflict resolution and multiculturalism, employment issues, tourism, gender equality, urban problems, social inequality and social protection.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Quo Vadis Akses Penduduk Kawasan TNK terhadap Sumber Daya Pariwisata

13 November 2020   13:00 Diperbarui: 14 November 2020   12:46 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Pulau Komodo, PT KWE bermitra dengan PT Flobamora miliki BUMD yang akan membangun fasilitas rest area, villa, restoran dan penginapan staff diatas lahan seluas 151,94 ha. Pulau Padar, atas dasar dari ijin investasi di tahun 2015, PT KWE menerima konsesi lahan seluas 274,13 ha yang akan dibangun falilitas rest area dan dermaga kelas premium.

Pulau Tatawa ijin pengelolaan usaha wisata diberikan kepada PT Synergindo Niagatama diatas lahan seluas 17 ha. Bergeser ke sisi tenggara TNK, terdapat Pulau Muang di dekat Gili Mori. Rencananya pemerintah akan mengeluarkan atau mengubah pulau tersebut dari kawasan konservasi TNK. 

Pulau Muang akan dibangun hotel berbintang lima dan convention center untuk persiapan KTT G-20 tahun 2023. Pulau dengan luas lahan 560 ha tersebut dinamakan sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) Indonesia.

Pada tahun 2018, PT KWE dan PT SKL atas pertimbangan dan keputusan Dirjen KSDAE statusnya menjadi status quo. Perusahaan-perusahaan tersebut menerima ijin usaha yang disebut IUPSWA (Ijin Usaha Penyedia Sarana Wisata Alam) dengan jangka waktu 55 tahun. IUPSWA dapat diperuntukan untuk usaha sarana wisata tirta, usaha sarana akomodasi, usaha sarana wisata pertualangan, usaha sarana transportasi.

Resolusi

Bagaimanapun situasi politik dan ekonomi saat ini, penduduk desa dalam kawasan dan pelaku wisata tidak lagi diuntungkan secara insentif ekonomi. Kebijakan pemerintah tentang destinasi wisata super premium alih-alih akan menyejahterakan ekonomi rakyat, justru memunculkan ketimpangan akses ke sumber daya pariwisata.

Selama periodisasi ijin usaha, pengelolaan Taman Nasional Komodo selalu mengalami pola peraturan yang berbeda-beda dan relasi kekuasaan yang berganti. Hal tersebut menunjukan pasang surut perubahan akses yang dialami oleh penduduk desa dalam kawasan TNK. 

Sebab, ketika pihak korporasi dapat memperoleh, mempertahankan dan mengendalikan akses terhadap sumber daya pariwisata di lain sisi penduduk desa dalam kawasan dan pelaku wisata mengalami eksklusi.

Ada beberapa mekanisme akses secara struktur dan relasional yang diperoleh, dipertahankan dan dikendalikan oleh pihak swasta yaitu akses capital (modal), akses otoritas, akses market (pasar), akses tekonologi dan akses pengetahuan.

Menurut penulis, dari segi sosial, pemerintah harus memberikan kesempatan atau peluang pada penduduk dalam kawasan TNK untuk mengelola dengan prinsip ekoturisme berbasis local community. Dari segi otoritas, tingkatkan power local community seperti peraturan asset desa bersama. Berikutnya, mendorong wilayah zona pemanfaatan untuk dikelola ijin usaha atas badan usaha milik desa (BUMDes) dalam kawasan TNK.

Tak kalah pentingnya, mendorong amenitas berupa fasilitas publik dari pemerintah seperti, trasnportasi laut, listrik, air, dan jaringan untuk aktivitas ekonomi berputar dalam ekoturisme berbasis local community. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun