SELALU begitu sejak dulu. Setiap langkahmu penuh dengan keyakinan yang meluap-luap, dunia ini adalah panggung yang diciptakan Tuhan khusus hanya untukmu saja. Aku hanya bisa memandang dari kejauhan, menyaksikan bagaimana kamu menari di atas awan-awan kesombonganmu.
Masih kuingat hari pertama kita bertemu di perpustakaan itu. Kamu duduk di sudut ruangan, dikelilingi tumpukan buku-buku tebal tentang filsafat dan sastra klasik. Matamu berkilat-kilat penuh semangat ketika membahas teori-teori rumit yang sama sekali tidak kupahami. "Kamu harus membaca Nietzsche," katamu dengan nada menggurui. "Dia akan membuka mata kamu tentang eksistensi manusia."
Entah mengapa, aku tertarik dengan cara bicaramu yang penuh percaya diri itu. Mungkin karena aku adalah kebalikan darimu---selalu ragu, selalu mencari-cari pembenaran atas setiap keputusan kecil dalam hidupku. Kamu seperti mercusuar yang bersinar terang di tengah gelapnya keragu-raguanku.
Hari demi hari, aku semakin terpikat. Kita mulai menghabiskan waktu bersama di warung kopi dekat kampus. Lalu, kamu berbicara panjang lebar tentang impianmu menjadi penulis besar, tentang novel-novel yang akan kamu tulis suatu hari nanti. "Aku akan mengubah cara orang memandang sastra Indonesia," ucapmu dengan mata berbinar. "Karyaku akan dibicarakan orang selama berabad-abad."
Aku mengangguk kemudian tersenyum, meski dalam hati, aku bertanya-tanya apakah semua itu hanya omong kosong belaka. Tapi, untuk apa aku meragukan mimpi kamu itu? Aku bukan siapa-siapa. Kamu selalu mendapatkan nilai tertinggi di kelas Pengkajian Naskah Klasik, sementara aku harus berjuang keras hanya untuk mendapat nilai B.
Suatu malam, kamu mengajakku ke atap gedung perpustakaan. Langit Jakarta terhampar luas di hadapan kita, berkilauan dengan cahaya dari ribuan lampu. "Lihat itu," katamu sambil menunjuk ke cakrawala. "Suatu hari nanti, namaku akan bersinar lebih terang dari lampu-lampu itu."
Aku ingin percaya. Sungguh, aku ingin percaya bahwa semua mimpi-mimpi besarmu akan menjadi kenyataan. Tapi kemudian, realita perlahan mulai menunjukkan taringnya.
Naskah novel pertamamu ditolak oleh lima penerbit berbeda. "Mereka tidak mengerti visiku," teriakmu dengan nada getir, "mereka cuma sibuk cari penulis buku-buku populer yang mudah dijual." Tapi, aku sudah membaca naskahmu---sebuah karya yang terlalu ambisius, terlalu rumit, dan terlalu sibuk menunjukkan kepintaranmu hingga melupakan esensi sebuah cerita.
Kamu kemudian mulai mulai menulis artikel-artikel tajam di blog pribadimu, mengkritik keras industri penerbitan Indonesia. Setiap kritikan yang kamu terima malah membuatmu semakin tertutup, semakin yakin bahwa dunialah yang salah, bukan dirimu.
"Mereka semua gak mengerti," celotehmu suatu malam, setelah sekian gelas kopi yang kamu teguk untuk menghilangkan kusutnya pikiranmu karena frustrasi. "Indonesia belum siap dengan karya-karyaku, tulisan-tulisan gilaku. Kayaknya aku terlahir di waktu yang salah."