Dunia seperti berputar. Aku teringat semua ocehanmu tentang kejujuran dalam berkarya, tentang bagaimana kamu mengkritik keras para penulis yang kamu anggap tidak otentik. Bagaimana mungkin kamu bisa melakukan semua hal itu?
Tapi bukti-bukti satu per satu mulai bermunculan. Screenshot-screenshot dari novel berbahasa Inggris yang terbit di Filipina dua tahun lalu. Kemiripan yang terlalu mencolok untuk diabaikan. Dan yang lebih mengejutkan---plot twist tentang guru bahasa itu, yang kamu ambil dari ceritaku, ternyata kamu gunakan untuk menutupi plagiatmu.
Panitia penghargaan memberi waktu tiga hari untuk klarifikasi. Ponselmu tidak aktif. Rumahmu kosong. Kamu menghilang bagai ditelan bumi.
Di tengah kekacauan yang tengah melandamu, sebuah paket tiba di kantorku. Tanpa nama pengirim. Sebuah kotak, di dalamnya, kutemukan sebuah buku catatan lusuh---jurnal lamamu. Halaman-halaman terakhirnya berisi pengakuan yang membuatku merinding:
"Aku lelah berpura-pura. Setiap kata pujian terasa seperti pisau yang menusuku bertubi-tubi. Mereka memujiku, tapi mereka memuja kebohongan. Karya-karya yang selama ini kubanggakan... tidak ada yang benar-benar milikku. Semuanya hasil curian, hasil manipulasi. Bahkan kritik-kritik pedasku pada karya orang lain hanyalah topeng untuk menutupi kebohonganku sendiri."
Tanganku gemetar ketika membaca tulisan itu. Di halaman paling belakang dari buku lusuh milikmu itu, ada sebaris kalimat yang ditulis dengan huruf yang sangat berantakan, tercium aroma putus asa dari rangkaian kata yang ada di halaman terakhir buku yang lusuh itu.
"Maafkan aku. Tapi semuanya sudah terlambat. Selamat tinggal."
-Tamat-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI