Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sujudnya Sang Penghamba Tuhan

10 Januari 2025   09:09 Diperbarui: 9 Januari 2025   19:59 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fajar merayap menembus langit untuk menyambut hari ketika Pak Salim menggeser pintu mushola tua yang terletak di ujung kampung desa Kampar. Derit kayunya yang dimakan usia memecah keheningan subuh, terdengar bagai irama yang merdu sangat akrab di telinganya selama empat puluh tahun terakhir. Suara itu, bagi Pak Salim, adalah panggilan cinta yang tidak pernah luput, membangkitkan kerinduannya untuk bertemu dengan Sang Pencipta.

Jemarinya yang keriput meraba dinding mencari sakelar lampu. “Klik”. Cahaya temaram menerangi ruangan sederhana itu — sajadah-sajadah usang yang masih tertata rapi, mihrab yang catnya mulai mengelupas, dan beberapa Al-Quran tua yang tersimpan, berbaris rapi dalam lemari kayu. Setiap sudut ruangan ini menyimpan ribuan kisah pengabdian, ribuan tetes air mata kerinduan.

Di antara bayangan temaram, ingatan Pak Salim melayang ke masa empat puluh tahun silam. Saat itu, dia seorang guru madrasah yang baru saja menikah dengan wanita pujaannya, Aminah. Gadis sederhana, putri seorang kyai yang mengajar di pesantren yang terletak di desa seberang. Aminah terkenal dengan sosoknya yang lembut, dengan kesabarannya yang tidak bertepi. Setiap subuh, mereka berdua selalu menyempatkan waktu untuk sholat berjamaah di mushola ini sebelum memulai aktivitas.

"Mas," kata Aminah suatu hari seusai sholat subuh, "berjanjilah untuk selalu menjaga mushola ini. Karena, tempat ini istimewa, Mas. Di tempat ini kita bertemu, di tempat ini jugalah kita merajut mimpi-mimpi kita." Pak Salim tersenyum mengenang kata-kata itu. Siapa sangka, janji yang diucapkan di pagi yang sejuk itu akan menjadi wasiat terakhir Aminah.

"Alhamdulillah," bisiknya lembut sembari mengusap wajah. Ritualnya dimulai dengan menyapu lantai mushola, mengelap jendela-jendela yang berdebu, dan mengepel lantai hingga mengkilap. Setiap gerakan tangannya menjadi ungkapan syukur, setiap tetes keringatnya menjadi persembahan terhadap cinta. Baginya, membersihkan rumah Tuhan adalah bentuk ibadah yang tidak kalah mulianya dengan ibadah-ibadah lainnya.

Di mushola ini pula Pak Salim menerima kabar yang mengubah hidupnya. Aminah kecelakaan dalam perjalanan pulang, dia mengajar mengaji di desa sebelah. Angkutan umum yang ditumpanginya tergelincir di jalan yang licin karena hujan. Aminah tidak sempat dibawa ke rumah sakit. Malaikat pencabut nyawa telah memeluk nyawanya terlebih dahulu. 

Dunia Pak Salim seketika gelap gulita. Selama berbulan-bulan dia tenggelam dalam kesedihan yang mencekam. Namun, di mushola ini pulalah dia menemukan cahayanya kembali. Di dalam sujudnya, dia merasakan kehadiran Aminah, mendoakannya dari alam yang berbeda. Setiap tetes air mata yang membasahi sajadah bagai embun yang membersihkan luka di dalam hatinya.

Suara adzan subuh sudah mengalun merdu, terdengar dari pengeras suara yang dipasang di menara mushola. Pak Salim bergegas mengambil wudhu. Setiap tetesnya menyegarkan batinnya yang lelah. Dalam diam, dia teringat bagaimana Aminah selalu mengingatkannya untuk tidak terburu-buru saat berwudhu, "Mas, wudhu itu bukan sekadar ritual. Tapi, Tuhan sedang memberikan kita kesempatan untuk membersihkan jiwa."

Di sudut ruangan, dalam lemari kecil, Pak Salim menyimpan sebuah Al-Quran pemberian Aminah — hadiah pernikahan mereka. Halaman-halamannya sudah menguning, tapi tulisan tangan Aminah di lembar pertama masih terbaca dengan jelas: "Untuk suamiku tercinta, semoga kita selalu bersama dalam ridho-Nya." Pak Salim tak pernah berhenti membacanya setiap hari, mendoakan istrinya yang lebih dahulu mendahuluinya.

Usai memimpin sholat subuh, Pak Salim tidak langsung beranjak. Dia tetap duduk bersimpuh, tangannya terangkat dalam doa. Air mata mengalir perlahan di pipinya yang keriput. Empat puluh tahun pengabdian terasa begitu singkat, begitu indah, begitu  bermakna.

"Ya Allah," bisiknya lirih, "Ampunilah hamba-Mu yang penuh dosa ini. Terima kasih telah mengizinkan hamba mengabdi di rumah-Mu selama ini. Pertemukan hamba dengan Aminah di surga-Mu kelak."

Tiga hari yang lalu, dokter memvonis Pak Salim mengidap kanker prostat. Umurnya mungkin saja tidak panjang. Tapi Pak Salim tidak gentar. Justru dia bersyukur — setidaknya Allah masih memberinya kesempatan untuk terus mengabdi, untuk terus menepati janjinya pada Aminah. Ucapan dokter saat itu, membuat cintanya pada Tuhan semakin dalam.

Sinar matahari perlahan mulai menembus kaca-kaca jendela mushola, tampak seperti lukisan cahaya di lantai yang baru saja dipel. Pak Salim masih tenggelam dalam doanya yang panjang. Air matanya membasahi sajadah, bibirnya tidak berhenti memuji Sang Pencipta. Dalam hening, dia membayangkan senyum Aminah, mendengar tawa kecilnya yang selalu menenangkan hati.

Baginya, tentu tidak ada kebahagiaan yang lebih besar daripada menjadi seorang hamba yang mencintai Tuhannya dengan segenap jiwa, hamba yang menemukan kedamaian dalam setiap sujudnya, hamba yang siap pulang kapanpun dipanggil oleh Sang Pemilik Kehidupan. Dalam pengabdiannya, dia telah belajar bahwa cinta sejati tidak pernah mati — ia hanya berpindah bentuk, dari pelukan menjadi doa, dari tatapan menjadi kenangan.

"Allahu Akbar," bisiknya dalam dzikir, sebelum akhirnya mengangkat tubuhnya yang lemah. Wajahnya bersinar dengan kedamaian yang tidak dapat terlukiskan. Pak Salim telah menemukan makna tertinggi dari penghambaannya — cinta yang tidak bersyarat kepada Sang Khalik, yang terpancar dalam kesetiaannya menjaga janji pada kekasih hatinya.

Di luar, matahari telah sepenuhnya terbit. Burung-burung berkicau merdu, melantunkan puji-pujian dalam bahasa mereka sendiri. Hari baru telah dimulai di kampung kecil itu. Dan Pak Salim, sang penghamba Tuhan yang setia, bersiap menyambutnya dengan senyum dan keikhlasan yang sama seperti empat puluh tahun terakhir.

***

Malam itu, bulan purnama menggantung sempurna di atas mushola tua desa Kampar. Cahayanya menerobos melalui kaca jendela, membuat bayangan-bayangan yang menari lembut di atas sajadah. Pak Salim, seperti biasa, telah selesai melaksanakan sholat Isya dan sedang duduk bersandar di mihrab, memandangi Al-Quran pemberian Aminah yang terbuka di pangkuannya.

"Ya Allah," bisiknya dalam hening malam, "Jika ini malam terakhirku, izinkan hamba menghabiskannya di rumah-Mu." Entah mengapa, malam itu dia merasa sangat berbeda. Ada sesuatu yang tidak biasa meresap ke dalam jiwanya, tampaknya, seisi alam semesta ini sedang berbisik menyambutnya.

Dengan jari-jarinya yang gemetar, Pak Salim membuka halaman terakhir Al-Quran itu. Ada tulisan tangan Aminah yang belum pernah dia baca sebelumnya, padahal dia sudah bolak-balik mengkhatamkannya. Sebuah pesan yang tersembunyi selama empat puluh tahun: "Mas, ketika kita bertemu lagi kelak, aku ingin mendengar cerita tentang bagaimana engkau menjaga rumah Allah ini. Aku menunggumu dengan setia di surga-Nya."

Air mata mengalir di pipinya yang keriput. Pak Salim mengusapnya perlahan, senyum mengembang lebar di bibirnya yang pucat. "Sebentar lagi, Aminah," bisiknya lembut, "Sebentar lagi aku akan menceritakan semuanya padamu."

Dengan tenaga yang tersisa, Pak Salim bangkit untuk melakukan sholat malam terakhirnya. Setiap gerakan terasa begitu khusyuk, setiap bacaan mengalir dengan keikhlasan yang mendalam. Dalam sujudnya yang panjang, dia merasakan kehadiran Aminah yang begitu dekat, seperti sedang menunggunya di ambang pintu surga.

"Allahu Akbar," ucapnya untuk terakhir kali, suaranya nyaris tak terdengar. Ketika kepalanya menyentuh sajadah dalam sujud, seulas senyum terukir di wajahnya. Dalam keheningan malam itu, Pak Salim, sang penghamba yang setia, menghembuskan nafas terakhirnya —- meninggal dalam keadaan bersujud kepada Sang Pencipta yang dicintainya.

Fajar berikutnya, ketika jamaah subuh mendapati Pak Salim masih dalam posisi sujudnya, mereka tahu bahwa Allah telah memilih cara terindah untuk memanggil hamba-Nya untuk pulang. Wajahnya yang tersenyum dalam sujud menjadi kesaksian akan indahnya pertemuan dengan Sang Kekasih.

Kabar kepergian Pak Salim menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru desa. Langit pagi itu ikut pula berduka, meneteskan gerimis halus yang membasahi bumi. Namun di antara kesedihan itu, ada kedamaian yang tersembunyi dibalik kata. Semua yang hadir di pemakaman Pak Salim dapat merasakan bahwa ini bukanlah akhir yang menyedihkan — ini adalah awal dari sebuah pertemuan yang telah lama dinantikan.

Pak Salim dimakamkan di samping pusara Aminah, sebagaimana wasiatnya. Di batu nisannya terukir sederhana: "Di sini berbaring seorang hamba yang menemukan cintanya dalam pengabdian, dan kembali pada-Nya dalam keadaan bersujud."

-Tamat-

Iqbal Muchtar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun