"Ya Allah," bisiknya lirih, "Ampunilah hamba-Mu yang penuh dosa ini. Terima kasih telah mengizinkan hamba mengabdi di rumah-Mu selama ini. Pertemukan hamba dengan Aminah di surga-Mu kelak."
Tiga hari yang lalu, dokter memvonis Pak Salim mengidap kanker prostat. Umurnya mungkin saja tidak panjang. Tapi Pak Salim tidak gentar. Justru dia bersyukur — setidaknya Allah masih memberinya kesempatan untuk terus mengabdi, untuk terus menepati janjinya pada Aminah. Ucapan dokter saat itu, membuat cintanya pada Tuhan semakin dalam.
Sinar matahari perlahan mulai menembus kaca-kaca jendela mushola, tampak seperti lukisan cahaya di lantai yang baru saja dipel. Pak Salim masih tenggelam dalam doanya yang panjang. Air matanya membasahi sajadah, bibirnya tidak berhenti memuji Sang Pencipta. Dalam hening, dia membayangkan senyum Aminah, mendengar tawa kecilnya yang selalu menenangkan hati.
Baginya, tentu tidak ada kebahagiaan yang lebih besar daripada menjadi seorang hamba yang mencintai Tuhannya dengan segenap jiwa, hamba yang menemukan kedamaian dalam setiap sujudnya, hamba yang siap pulang kapanpun dipanggil oleh Sang Pemilik Kehidupan. Dalam pengabdiannya, dia telah belajar bahwa cinta sejati tidak pernah mati — ia hanya berpindah bentuk, dari pelukan menjadi doa, dari tatapan menjadi kenangan.
"Allahu Akbar," bisiknya dalam dzikir, sebelum akhirnya mengangkat tubuhnya yang lemah. Wajahnya bersinar dengan kedamaian yang tidak dapat terlukiskan. Pak Salim telah menemukan makna tertinggi dari penghambaannya — cinta yang tidak bersyarat kepada Sang Khalik, yang terpancar dalam kesetiaannya menjaga janji pada kekasih hatinya.
Di luar, matahari telah sepenuhnya terbit. Burung-burung berkicau merdu, melantunkan puji-pujian dalam bahasa mereka sendiri. Hari baru telah dimulai di kampung kecil itu. Dan Pak Salim, sang penghamba Tuhan yang setia, bersiap menyambutnya dengan senyum dan keikhlasan yang sama seperti empat puluh tahun terakhir.
***
Malam itu, bulan purnama menggantung sempurna di atas mushola tua desa Kampar. Cahayanya menerobos melalui kaca jendela, membuat bayangan-bayangan yang menari lembut di atas sajadah. Pak Salim, seperti biasa, telah selesai melaksanakan sholat Isya dan sedang duduk bersandar di mihrab, memandangi Al-Quran pemberian Aminah yang terbuka di pangkuannya.
"Ya Allah," bisiknya dalam hening malam, "Jika ini malam terakhirku, izinkan hamba menghabiskannya di rumah-Mu." Entah mengapa, malam itu dia merasa sangat berbeda. Ada sesuatu yang tidak biasa meresap ke dalam jiwanya, tampaknya, seisi alam semesta ini sedang berbisik menyambutnya.
Dengan jari-jarinya yang gemetar, Pak Salim membuka halaman terakhir Al-Quran itu. Ada tulisan tangan Aminah yang belum pernah dia baca sebelumnya, padahal dia sudah bolak-balik mengkhatamkannya. Sebuah pesan yang tersembunyi selama empat puluh tahun: "Mas, ketika kita bertemu lagi kelak, aku ingin mendengar cerita tentang bagaimana engkau menjaga rumah Allah ini. Aku menunggumu dengan setia di surga-Nya."
Air mata mengalir di pipinya yang keriput. Pak Salim mengusapnya perlahan, senyum mengembang lebar di bibirnya yang pucat. "Sebentar lagi, Aminah," bisiknya lembut, "Sebentar lagi aku akan menceritakan semuanya padamu."