Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Ketika Rimba Berbisik Lirih

8 Januari 2025   14:29 Diperbarui: 8 Januari 2025   15:28 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

EMBUN pagi menusuk tajam, meresap ke dalam jubah perjuangan yang kian lusuh dimakan waktu. Di sini, di tengah hutan perbatasan Perak yang menyimpan sejuta rahasia, aku---Harun bin Mahmud---menemukan diriku terjebak dalam lilitan pengkhianatan bersama idealisme yang tidak bertepi.

Tujuh tahun telah berlalu sejak aku menanggalkan cangkul, meninggalkan kehidupan petani yang terbelit kemiskinan di kampung halaman. Revolusi yang dulu berkobar dalam dada terasa semakin jauh, bagai fatamorgana di padang gersang. Satu per satu, kawan seperjuangan gugur, sementara penguasa dengan lihai memainkan strategi adu domba, memutus rantai dukungan rakyat yang menjadi urat nadi perlawanan kami.

Malam itu, Abdullah datang dengan nafas memburu bersama berita yang mengoyak keyakinan. "Ada pengkhianat," bisiknya parau, suaranya bergetar di antara desir angin malam. Nama yang kemudian meluncur dari bibirnya bagaikan belati yang menghunjam tepat ke jantung: Pak Ismail---sosok yang selama ini menjadi mercusuar perjuangan kami---telah berkomplot dengan musuh.

Kenangan demi kenangan berkelebat dalam benakku bagai potongan film usang. Pak Ismail yang dengan sabar mengajariku taktik gerilya, yang membangkitkan api revolusi dalam dadaku, kini tidak lebih dari sekedar bayangan semu sebuah idealisme yang mulai memudar.

"Kita harus bertindak," Abdullah berbisik di tengah keremangan malam, matanya berkilat tajam memantulkan cahaya bulan yang mencuri-curi di antara celah dedaunan. "Sebelum pengkhianatan ini menelan lebih banyak nyawa."

Dilema mencekik, menghadirkan pergulatan dalam batin yang tidak berkesudahan. Membunuhnya berarti membunuh sebagian dari diriku sendiri. Bukankah revolusi yang kami perjuangkan berdiri di atas fondasi keadilan, bukan dendam? Namun dalam perang gerilya, garis pemisah antara keduanya seringkali lebur dalam kabut ketidakpastian.

Embun pagi mulai menitik, tampaknya langit pun turut merasakan beratnya pilihan yang harus kuambil. Kugenggam pisau lipat pemberian ayah, benda sederhana yang akan menjadi saksi bisu pertarungan antara loyalitas yang dibungkus pengkhianatan, antara ideologi yang berbalut kemanusiaan.

"Revolusi memakan anak-anaknya sendiri," gumamku mengulang kata-kata seorang komandan tua yang telah mendahului kami. Dan di antara rimba yang menyimpan seribu rahasia, rencana mulai terjalin.

Fajar belum sepenuhnya merekah ketika kami bergerak. Abdullah melangkah di depanku bagai bayangan di antara semak belukar, menuju perkampungan tersembunyi di lereng bukit---tempat Pak Ismail biasa mengadakan pertemuan rahasia.

Kenangan demi kenangan menghantam benakku sepanjang perjalanan. Enam tahun lalu, Pak Ismail adalah cahaya yang menerangi hidupku yang gelap sebagai petani miskin yang tertindas. Dia mengajariku membaca, berbicara tentang revolusi, dan membuka mata hatiku akan ketidakadilan.

"Revolusi dimulai dari kesadaran," bisikannya di suatu malam masih terngiang, "bukan dari peluru, melainkan dari pikiran yang merdeka."

Abdullah tiba-tiba berhenti, parangnya teracung ke arah semak. "Ada yang tidak beres," bisiknya tajam.

Benar saja. Di balik gemerisik daun, sosok Pak Ismail muncul dengan pakaian lusuh dan wajah pucat pasi. "Aku tahu kalian akan datang," ujarnya serak. "Tapi kalian tidak mengerti semuanya."

Ketika Abdullah mengacungkan pistolnya, kuhalangi dengan tangan. Ada sesuatu dalam tatapan Pak Ismail---bukan sorot mata pengkhianat, melainkan pandangan seseorang yang menanggung beban rahasia yang berat.

"Jelaskan," pintaku pelan. "Jelaskan mengapa."

Pak Ismail tersenyum getir, mengeluarkan buku catatan usang dari balik bajunya. Jemarinya yang gemetar membuka lembaran menguning, dan mulailah ia bercerita tentang perannya sebagai agen ganda---bukan untuk pemerintah, bukan pula sepenuhnya untuk pasukan revolusi, melainkan untuk jaringan rahasia yang lebih besar.

"Revolusi sejati," katanya, "bukan hanya mengangkat senjata, melainkan memelihara nyawa."

Selembar foto lusuh jatuh dari buku catatannya---potret Fatimah, adik Abdullah yang hilang lima tahun lalu dalam serangan militer di perbatasan Perak. "Dia masih hidup," bisik Pak Ismail. "Aku telah menyembunyikannya. Dia selamat."

Untuk pertama kalinya, kulihat Abdullah kehilangan kendali. Pistol di tangannya bergetar, air mata mengalir di pipinya yang lusuh.

Namun keheningan itu pecah oleh derit logam dari kejauhan---tanda pasukan musuh mendekat. "Mereka sudah dekat," bisik Abdullah. "Kita dikepung."

Pak Ismail tersenyum getir. "Inilah saatnya kalian memilih. Percayakah kalian padaku, atau akan membiarkan revolusi ini tenggelam di hutan ini bersama darah kalian?"

Peluru mulai berdentangan, berdendang membelah keheningan rimba. Pak Ismail menuntun kami ke sebuah lubang tersembunyi di antara akar pohon, tempat persediaan amunisi, peta, dan sebuah amplop kulit tersimpan.

"Ini bukti-bukti yang selama ini kusimpan," katanya, menyerahkan amplop itu padaku. "Jika aku tidak selamat, kau harus meneruskannya."

Di tengah cahaya matahari yang perlahan memudar, Pak Ismail membuka sebuah terowongan rahasia. "Ada jalan keluar," katanya, "tapi, harus ada yang dikorbankan."

Aku melihat wajah Abdullah memelas, tampaknya dia ingin sekali bertemu adiknya. Baru saja aku akan angkat bicara, "Aku akan tinggal," putusnya, "untuk mengalihkan perhatian mereka."

Dalam hening, kami memahami bahwa pengorbanan adalah bahasa tertinggi dari sebuah revolusi. Abdullah memeluk buku lusuh milik Pak Ismali yang berisi foto Fatimah, air matanya telah berganti dengan tekad yang membara.

"Revolusi tidak akan pernah mati," bisik Pak Ismail, "ia hanya berganti rupa."

Kami pergi, meninggalkan Pak Ismail di antara dentuman peluru yang berbisik diantara dedaunan. Namun kami tahu, dalam setiap langkah kami, dia akan selalu hadir---bayangan di antara rimba yang tidak pernah padam.

***

WAKTU berlalu bagai awan yang berarak-pinak di langit Perak. Lima belas tahun telah lewat sejak malam tanpa pilihan itu. Aku duduk di beranda rumah sederhana di pinggir hutan, menatap rimba yang menyimpan sejuta kisah perjuangan.

Fatimah telah menjadi guru di sebuah sekolah rahasia, mendidik anak-anak tentang sejarah yang tidak tertulis dalam buku-buku sejarah resmi. Abdullah memimpin jaringan bawah tanah yang semakin luas, menggunakan strategi yang dipelajarinya dari Pak Ismail---perlawanan tanpa kekerasan, revolusi yang berselimut kedamaian.

Suatu pagi, ketika embun masih menggantung di dedaunan, seorang pemuda datang ke rumahku. Wajahnya mengingatkanku pada seseorang dari masa lalu.

"Saya anak Pak Ismail," katanya dengan suara bergetar. "Ayah menitipkan ini sebelum beliau pergi."

Sebuah buku harian usang berpindah ke tanganku. Di dalamnya, tertulis kisah-kisah yang tidak pernah terungkap---tentang jaringan rahasia yang lebih besar dari yang kami bayangkan, tentang perjuangan yang melampaui batas negeri, tentang revolusi yang mengubah wajahnya menjadi gerakan pendidikan dan juga pemberdayaan.

"Ayah tidak pernah mati di hutan itu," lanjut pemuda itu. "Beliau melanjutkan perjuangan dengan cara yang berbeda. Setiap sekolah yang berdiri di pedalaman, setiap perpustakaan yang muncul di desa-desa terpencil---itu semua adalah jejak revolusinya."

Air mataku menetes membaca halaman demi halaman. Pak Ismail telah mengubah makna revolusi. Bukan lagi tentang peluru yang mengejar darah, tetapi tentang pencerahan serta pembebasan pikiran. Setiap kata yang diajarkan, setiap buku yang dibagikan, adalah peluru yang tidak terdengar namun lebih tajam dari timah panas.

Di halaman terakhir buku itu, ada sebuah peta. Bukan peta biasa, melainkan jaringan sekolah-sekolah rahasia yang tersebar di seluruh negeri. Di setiap titik, ada nama-nama yang kukenal---mantan pejuang yang kini berjuang dengan pena dan buku.

"Ayah ingin Anda melanjutkan kisah ini," kata pemuda itu. "Bukan untuk ditulis dalam buku sejarah, tapi untuk dihidupkan dalam setiap nafas generasi mendatang."

Malam itu, aku duduk di beranda, menatap rimba yang dulu menjadi saksi perjuangan kami. Suara-suara dari masa lalu berbisik di antara gemerisik daun: suara Pak Ismail yang mengajarkan makna revolusi, suara Abdullah yang mempertanyakan pengkhianatan, suara peluru yang membelah keheningan malam.

Perlahan aku mengerti, revolusi sejatilah yang mengubah cara manusia memandang dunia. Pak Ismail tidak pernah mengkhianati perjuangan---ia justru membawanya ke tempat yang lebih tinggi. Setiap anak yang belajar di sekolah-sekolah rahasianya adalah benih revolusi yang akan tumbuh pada waktunya.

Di kejauhan, kulihat seorang anak membaca buku di bawah pohon. Matanya berbinar penuh semangat, seperti mata kami dulu ketika pertama kali mendengar kata "revolusi" dari bibir Pak Ismail. Dan aku tahu, perjuangan kami tidak pernah sia-sia.

Bayangan di antara rimba itu masih ada, kini dalam wujud yang berbeda. Bukan lagi sosok bersenjata yang bersembunyi di balik pepohonan, namun dalam bentuk pengetahuan yang memberikan kekuatan, dalam bentuk kesadaran yang membebaskan.

Dan mungkin itulah revolusi yang sesungguhnya---yang tidak pernah mati, yang terus bermetamorfosis, yang hidup dalam setiap jiwa yang haus akan kebebasan bersama keadilan.

Di tanganku, buku harian Pak Ismail terasa hangat. Ada satu halaman kosong di bagian akhir, menunggu untuk diisi. Mungkin inilah saatnya bagiku untuk menulis babak baru dari kisah yang tidak akan pernah berakhir ini.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun