"Revolusi dimulai dari kesadaran," bisikannya di suatu malam masih terngiang, "bukan dari peluru, melainkan dari pikiran yang merdeka."
Abdullah tiba-tiba berhenti, parangnya teracung ke arah semak. "Ada yang tidak beres," bisiknya tajam.
Benar saja. Di balik gemerisik daun, sosok Pak Ismail muncul dengan pakaian lusuh dan wajah pucat pasi. "Aku tahu kalian akan datang," ujarnya serak. "Tapi kalian tidak mengerti semuanya."
Ketika Abdullah mengacungkan pistolnya, kuhalangi dengan tangan. Ada sesuatu dalam tatapan Pak Ismail---bukan sorot mata pengkhianat, melainkan pandangan seseorang yang menanggung beban rahasia yang berat.
"Jelaskan," pintaku pelan. "Jelaskan mengapa."
Pak Ismail tersenyum getir, mengeluarkan buku catatan usang dari balik bajunya. Jemarinya yang gemetar membuka lembaran menguning, dan mulailah ia bercerita tentang perannya sebagai agen ganda---bukan untuk pemerintah, bukan pula sepenuhnya untuk pasukan revolusi, melainkan untuk jaringan rahasia yang lebih besar.
"Revolusi sejati," katanya, "bukan hanya mengangkat senjata, melainkan memelihara nyawa."
Selembar foto lusuh jatuh dari buku catatannya---potret Fatimah, adik Abdullah yang hilang lima tahun lalu dalam serangan militer di perbatasan Perak. "Dia masih hidup," bisik Pak Ismail. "Aku telah menyembunyikannya. Dia selamat."
Untuk pertama kalinya, kulihat Abdullah kehilangan kendali. Pistol di tangannya bergetar, air mata mengalir di pipinya yang lusuh.
Namun keheningan itu pecah oleh derit logam dari kejauhan---tanda pasukan musuh mendekat. "Mereka sudah dekat," bisik Abdullah. "Kita dikepung."
Pak Ismail tersenyum getir. "Inilah saatnya kalian memilih. Percayakah kalian padaku, atau akan membiarkan revolusi ini tenggelam di hutan ini bersama darah kalian?"