"Bonang, hidung kamu mengendus bau bangkai tikus apa ndak?" tanya Ngadimin. Hidungnya kembang-kempis karena bau tak sedap yang singgah di bulu moncongnya.Â
"Mulut kau yang terlalu dekat dengan hidung," jawabnya sambil tertawa.
Ngadimin kesal, dia pergi meninggalkan Bonar yang sedang sibuk membersihkan debu-debu serta bau pesing tikus dari tumpukan buku-buku di perpustakaan milik pak Sujud yang menjadi satu-satunya perpustakaan di daerah ini.
***
Lalat sudah mulai berdatangan, aku berhasil menyingkirkan Tikus tua yang bejat itu. Dia pikir bisa seenaknya saja menggerogoti tubuhku. Biar pun lembar-lembaran tubuhku sudah lusuh, tua dan compang-camping, aku masih dikaruniai pengetahuan yang tidak akan pernah habis dimakan zaman.
Aku sangat berterima kasih kepada Tuhan yang telah menciptakanku, dia memang layak dipanggil Tuhan. Berkatnya aku memiliki pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia.
Sayangnya, manusia di zaman ini enggan untuk membolak-balik tubuhku. Bercumbu mesra dengan lembar-lembar yang menguning juga bau. Hanya si Tikus tua itu saja yang mau meraba-raba tubuhku yang sudah tidak muda lagi.
Tapi, Tuhanku tidak pernah putus asa.Â
Kemarin lusa, sebelum Tikus tua bejat itu menghembuskan nafas terakhirnya dia sempat bercerita, dia melihat Tuhanku sedang menciptakan makhluk yang sama dengan diriku.
Harapanku hanya satu ketika si tua bejat itu bercerita,semoga saja dia tidak bernasib sama denganku, berakhir di perpustakaan yang kumuh, berdebu yang bau pesing air kencing tikus.
Terkadang, aku iri dengan mereka yang berbaris di rak fiksi ini, tubuh mereka benar-benar padat, gempal dan semok, jumlah halaman tubuh mereka bisa mencapai ribuan lembar. Kalau mendengar mereka bercerita, indah sekali. Tuhan mereka pasti sangat senang dengan khayalan, fantasi atau karena terlalu sering melamun.