Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yuni Semaput

12 Juli 2024   10:49 Diperbarui: 12 Juli 2024   11:09 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar oleh Abby Chung dari pexel.com

Entah mengapa Yuni begitu terkesima melihat Andi, padahal sosok Andi sama seperti laki-laki lain yang seusia dengannya. Andi dengan kulit ras melayu yang tingginya pun kira-kira sama seperti dosen-dosen yang ada di kampus Yuni. Hanya satu yang jelas berbeda, Andi masih muda.

Seperti halnya anak muda dengan kualifikasi pendidikan Strata 3 yang membuatnya berfikiran terbuka ketika melihat dunia. Menjadikan konsep pengajarannya di dunia sastra yang dinamikanya dipenuhi dengan warna dan aroma terlihat berbeda, apa lagi Andi sudah melanglang buana.

Pengalaman yang dimilikinya menambah kekayaan perspektif, menjadikan karya sastra yang diajarkannya bukan hanya sekedar teks, tetapi juga jendela untuk melihat dunia dengan segala keindahannya. Andi tidak hanya mengajar tapi juga menginspirasi mahasiswanya untuk berkelana melalui kata-kata, melintasi benua, budaya, mengecap berbagai rasa kehidupan yang tertuang dalam setiap paragraf.

Di tangannya, sastra hidup, dia bernafas dari cerminan serta keragaman konflik yang dirasakan manusia. Andi mengajak mahasiswanya untuk menggali kepelikan jiwa manusia. Andi kerap menjelajahi dimensi-dimensi kemanusiaan yang sering kali tersembunyi di balik kata-kata.

Bisa-bisanya di kampus yang baru saja menerima Andi sebagai dosen Sastra itu ada mahasiswi yang sangat menjengkelkan, Yuni namanya. Kebiasaannya ketika di kelas adalah bertanya tentang hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan materi yang diajarkan Andi. Ketika Andi menjawab pertanyaan yang lemparkannya itu, Yuni malah senyum-senyum sendiri.

Meskipun begitu, dia itu tergolong mahasiswi yang rajin, selalu mengerjakan tugasnya dengan kualitas di atas teman-temannya. Memang pada dasarnya Yuni itu menjengkelkan, ditambah dia terlalu sering menonton drama Korea, sehingga tingkat halusinasi di dalam tugas dan makalahnya benar-benar maksimal. Andi hanya tersenyum ketika membacanya sambil bergumam, "Dasar bocil."

Pernah suatu hari, Andi sedang duduk di selasar yang menghubungkan gedung Fakultas Sastra dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Andi melepas penatnya hari dengan membaca buku Dunia Shopie karya Jostein Gaard, tiba-tiba Yuni berdiri di hadapannya sambil senyum-senyum, dia bertanya tentang skripsi. Padahal, Andi bukan dosen pembimbing skripsi.

Dengan sangat terpaksa Andi menjelaskan pertanyaan Yuni itu. Wajah Yuni nampak merekah, tersipu-sipu menatap Andi, mata Yuni yang berkilauan memancarkan cahaya harapan di dalam kebingungan, sesaat kemudian jantung Andi berdegup tidak beraturan ketika mata Yuni memancarkan sebuah emosi yang sulit digambarkan, lalu senyum tipis yang terukir di bibir Yuni membuat lidah Andi menjadi kelu.

Andi segera memasukkan buku yang tebalnya 798 halaman itu kedalam tas, "Maaf Yuni, saya ada kelas," ucap Andi sambil beranjak dari duduknya. Yuni hanya bisa menatapnya dengan tatapan sedikit kecewa. Andi langsung memunggungi Yuni yang masuk duduk di selasar dengan ekspresi wajah yang sulit untuk diterka.

Andi tidak ingin Yuni melihatnya dengan sebelah matanya. Bagi Andi, sebagai seseorang yang berkomitmen pada pekerjaan dia akan menunjukan dedikasi yang baik di setiap kesempatan. Andi tidak ingin Yuni hanya melihat kulit luarnya saja, lagi pula, Yuni masih terlalu muda untuk menyandarkan perasaannya pada pujaan hatinya.

Semenjak hari itu, Yuni semakin gencar melakukan agresi hatinya. Selalu ada kejutan-kejutan kecil di setiap pertanyaan yang diluncurkan, terkadang terselip kata manis yang membuat seisi kelas geger. Andi bergeming, memang sudah menjadi karakter Andi yang dingin seperti kulkas daging, dia membalasnya dengan kata pahit.

Seperti drama Korea pada umumnya, Andi tetap saja bersikap dingin, dia tidak menanggapi betapa kerasnya usaha Yuni untuk mendapatkan hatinya. 

Hari itu, Andi mendapatkan tawaran yang sangat menarik. Andi memang memiliki jiwa oportunis, kalau datang kesempatan yang lebih baik kenapa harus merelakannya pergi, karena kesempatan itu hanya datang sekali seumur hidup, begitulah prinsip yang selalu dipegang teguh selama mengarungi karir di dunia pendidikan.

Dengan berbekal ijazah Doktoral yang dikantonginya, dengan mudah Andi menyabet kesempatan yang datang di hadapannya. Dia ingin membuktikan kepada keluarganya di Makasar kalau putra daerah seperti dirinya dapat mengharumkan nama desa beserta keluarga besarnya di sana. 

Dalam waktu dekat Andi akan berangkat ke Swedia, dia akan berkolaborasi dengan The Swedish Academy. Lembaga yang menjadi otoritas tertinggi yang didirikan pada tahun 1786 oleh raja Gustav III. Andi akan berkolaborasi dengan 18 anggota Swedish Academy, tugas utamanya memilih penerima penghargaan Nobel Kesusastraan setiap tahun. Nobel Prize for Literature, sebuah penghargaan yang diberikan kepada penulis yang dianggap membawa manfaat besar bagi peradaban manusia.

Dengan karir yang gemilang, wajah yang tampan, tentu saja membuat Andi menjadi incaran wanita-wanita pencari cinta. Namun, Andi bukanlah laki-laki yang senang mengobral janji dan juga cinta. Menurut Andi cinta itu adalah tempat di mana hati dapat berlabuh dan jiwa menemukan rumahnya, cinta itu adalah anugerah terindah yang diberikan alam semesta, pilar yang menopang kehidupannya, serta cahaya yang menerangi jalannya ketika gelap. 

Yuni pantang menyerah, meskipun sikap Andi yang selalu dingin padanya. Hari itu, Andi sedang mengajar di kelas Yuni, entah siapa yang memberitahukan Yuni tentang kepergiannya ke Swedia. Yuni terlihat murung, tidak seperti biasanya yang selalu menyebalkan, banyak tanya dan terkadang tidak ada korelasinya dengan materi yang Andi ajarkan.

Hari itu, Yuni melontarkan satu pertanyaan saja, "Kenapa Pak Andi pergi?"

Andi menatap Yuni bingung, "Saya akan ke Swedia dalam waktu dekat, saya akan berkolaborasi dengan Swedish Academy, Yuni." ucap Andi perlahan dengan nada tegas.

Yuni hanya diam saja, dia tidak melanjutkan pertanyaannya, sorot matanya nampak seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi, Andi tidak menanggapinya. Suasana kelas tiba-tiba mendung, beberapa mahasiswi ada yang menitikkan air mata, beberapa dari mereka tiba-tiba meminta Andi untuk berswafoto bersamanya. 

***

Hari ini adalah hari terakhir bagi Andi mengajar di kampus, dan hari ini tidak ada jadwal mengajar di kelas Yuni. Hari ini tidak akan ada drama Korea, pikir Andi. Karena, Andi tahu betul bagaimana Yuni yang menjadikan kisah-kisah halusinasi percintaan di dalam film drama Korea itu dijadikan referensi di dalam kehidupan nyata, bahkan tugas serta makalahnya.

Ternyata, prediksi Andi salah. Yuni yang dikhawatirkannya memang tidak membuat ulah hari itu, tapi, mahasiswi yang lain datang menyerbunya, Andi benar-benar seperti artis hari itu.

"Pak Andi, ini untuk bapak, supaya bapak inget saya terus klo lagi pake topi ini," ucap Rani sambil menyodorkan topi berwarna putih.

"Pak Andi, foto dulu ya, Pak," pinta Riska, dia menyodorkan kameranya. Andi hanya tersenyum menggarahkan wajahnya ke kamera.

"Pak... Pak Andi, tolongin Yuni, Pak!" teriak Marisa sambil menarik tangan Andi menjauh dari kerumunan para mahasiswi yang kecentilan dengannya.

"Kenapa Yuni, Marisa?"

"Yuni Semaput," 

Andi pergi meninggalkan kerumunan mahasiswi yang ingin mengucapkan selamat, memberikan hadiah dan juga swafoto. Dia mengikuti langkah Marisa dari belakang. Dari kejauhan Andi melihat Yuni yang terbaring, dia dikelilingi teman-temannya yang berusaha menolongnya. 

"Yuni... Yuni..." panggil Andi ketika berada di samping Yuni, Andi menepuk-nepuk pipi Yuni lembut, tapi tidak ada jawaban. Karena tidak ada jawaban, akhirnya Andi mendekatkan kepalanya ke hidung Yuni, dia ingin mendengar nafas Yuni dari dekat sebelum dia harus menelepon ambulans dan membawanya ke rumah sakit terdekat.

"Aku sayang kamu, Pak Andi." suara yang terdengar di telinga Andi ketika kepalanya dekat dengan hidung Yuni.

Cepat-cepat Andi mengangkat kepalanya, dia terkejut. Tapi, Yuni terlihat seperti orang yang sedang pingsan.

Andi dekatkan lagi kepalanya untuk mendengarkan nafas Yuni. "Aku sayang kamu, Mas."

Andi langsung berdiri, wajahnya memucat, lalu dia menyuruh teman-temannya untuk menelepon ambulans.

"Pak, mau kemana, Pak!" tanya Marisa.

Andi tidak menjawab, dengan wajah panik dia beranjak menjauh dari tubuh Yuni yang semaput.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

Cerpen ini terinspirasi dari karya S. Eleftheria dengan judul : Yuni terlanjur cinta diam-diam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun