Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Argumentum Ad Hominem

5 Juni 2024   11:57 Diperbarui: 5 Juni 2024   13:45 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di kota itu terdapat sebuah kafe bernama "Diskusi Hangat". Kafe ini terkenal sebagai tempat berkumpulnya para pemikir lokal yang suka berdiskusi tentang berbagai topik.

Nama dari kafe tersebut menarik perhatian seorang pria bernama Budi, dia baru saja pindah ke kota tersebut, tanpa pkir panjang, dia memutuskan untuk mengunjungi kafe itu. Budi adalah seorang pria berusia 30-an dengan rambut sedikit berombak serta berkacamata bundar. Dia sangat tertarik pada isu-isu lingkungan, karena ketertarikannya itu, dia gemar membaca buku-buku tentang perubahan iklim dan kebijakan politik terhadap publik.

Ketika Budi memasuki kafe, ia melihat banyak orang duduk di meja-meja kecil, berbicara, berdiskusi dengan sangat antusias. Di pojok ruangan, ada sebuah papan tulis besar yang penuh dengan catatan dan diagram dari diskusi-diskusi sebelumnya. Budi memesan secangkir kopi dan duduk di salah satu meja yang kosong.

Sambil menunggu pesanannya tiba, dia mengeluarkan sebuah buku berjudul "Krisis Iklim dan Solusinya" dan mulai membacanya.

Tak lama kemudian, seorang pria seusianya dengan rambut pendek, penampilannya rapi, mendekati meja Budi. Pria itu memperkenalkan dirinya, "Permisi, saya Anton. Boleh saya duduk di sini?"

Budi tersenyum dan mengangguk, "Oh, silakan... Saya Budi." Budi menyambut tangan Anton yang disodorkan dihadapannya.

Lalu Anton duduk, dia melihat buku yang sedang dibaca Budi. "Anda tertarik dengan isu lingkungan, ya?" tanya Anton.

Budi mengangguk dengan sangat antusias. "Iya, saya sangat peduli dengan perubahan iklim dan selelu berusaha mencari cara bagaimana kita bisa mengurangi dampaknya."

Mata Anton berbinar. "Kebetulan sekali! Saya juga tertarik dengan topik itu. Saya sering ikut diskusi di sini setiap minggu. Apa Anda baru pertama kali ke sini?"

"Iya, Saya baru pindah ke kota ini minggu lalu. Senang rasanya menemukan tempat seperti ini," jawab Budi.

Mereka pun mulai berbicara tentang ketertarikan mereka terhadap lingkungan. Diskusi mereka mengalir seperti aliran air sungai yang menyembur dari mata air pegunungan, mulai dari pembahasan tentang data ilmiah terbaru hingga kebijakan pemerintah yang menurut mereka perlu diperbaiki. Budi dan Anton menemukan banyak sekali kesamaan dalam sudut pandang, tetapi juga mereka kerap menemui perbedaan terhadap isu-isu yang menarik.

Anton, yang bekerja sebagai analis kebijakan di sebuah LSM lokal, berbagi pandangannya tentang pentingnya lobi politik untuk perubahan kebijakan. "Kadang-kadang, kita harus realistis dan berusaha mempengaruhi pembuat kebijakan melalui cara-cara yang mungkin tidak ideal, tapi efektif," kata Anton.

Budi, yang memiliki latar belakang pendidikan lingkungan, menambahkan, "Setuju. Tapi kita juga perlu terus mendidik masyarakat agar mereka sadar akan pentingnya perubahan perilaku. Karena pada akhirnya, perubahan besar terjadi ketika banyak orang mau berubah."

Diskusi mereka berlangsung selama berjam-jam, ditemani oleh beberapa cangkir kopi. Mereka bertukar nomor telepon dan berjanji untuk bertemu lagi di diskusi berikutnya. Seiring waktu, pertemanan mereka semakin akrab. Mereka sering bekerja sama dalam proyek-proyek lingkungan, mengadakan seminar, dan menulis artikel bersama.

***

Suatu hari, kafe itu mengadakan diskusi terbuka tentang kebijakan pengurangan emisi karbon. Anton dan Budi duduk bersebelahan, siap untuk berpartisipasi. Ketika moderator membuka sesi tanya jawab, Budi dengan penuh semangat menyampaikan pendapatnya tentang pentingnya kebijakan pengurangan emisi yang ketat.

"Kita harus segera mengurangi emisi karbon agar bisa menyelamatkan bumi dari pemanasan global. Banyak penelitian ilmiah menunjukkan bahwa emisi karbon dari aktivitas manusia mempercepat perubahan iklim," kata Budi.

Anton, yang juga ingin berkontribusi, merasa perlu menyampaikan pandangan yang berbeda. "Saya setuju bahwa kita perlu mengurangi emisi, tapi kita harus melakukannya dengan cara yang realistis dan tidak mengorbankan ekonomi masyarakat. Kita harus mencari jalan tengah yang bisa diterima oleh semua pihak."

Budi menanggapi, "Tapi jika kita terus menunda dan mencari jalan tengah, kita mungkin tidak akan pernah mencapai perubahan yang diperlukan. Kita butuh tindakan tegas sekarang!"

Diskusi menjadi semakin memanas. Anton merasa tersudut dan tanpa sadar melontarkan serangan yang bersifat pribadi. "Budi, kamu memang pintar bicara, tapi kamu tidak punya pengalaman bekerja di pemerintahan atau industri. Kamu tidak tahu bagaimana sulitnya mengimplementasikan kebijakan seperti itu di dunia nyata."

Budi terkejut ketika mendengar komentar pedas yang dilontarkan Anton. "Kenapa kamu menyerang pribadi saya? Gelar pendidikan atau pengalaman kerja saya tidak ada hubungannya dengan kebenaran argumen saya. Kita harus fokus pada fakta dan solusi, bukan menyerang pribadi satu sama lain."

Diskusi di kafe terhenti sejenak, semua mata tertuju pada Budi dan Anton. Moderator segera turun tangan, mencoba meredakan ketegangan. "Mari kita kembali ke topik utama dan hindari serangan yang bersifat pribadi. Kita di sini untuk berdiskusi dengan kepala dingin."

Diskusi dihentikan.

***

Setelah perdebatan panas di kafe itu, Budi dan Anton masih sering bertemu di "Diskusi Hangat". Namun, bayangan dari perdebatan sebelumnya belum sepenuhnya hilang. Anton, meski sudah meminta maaf, masih merasa bahwa pandangan Budi terlalu idealis dan tidak realistis. Di sisi lain, Budi mulai merasa bahwa Anton seringkali lebih mementingkan kepentingan pribadi dan juga kelompok tertentu daripada kebenaran secara ilmiah.

Selang beberapa minggu, kafe itu mengadakan diskusi khusus tentang implementasi kebijakan pengurangan emisi karbon di Argumenia. Budi dan Anton, seperti biasa, duduk bersama. Namun, suasana di antara mereka sedikit tegang.

Ketika sesi diskusi dimulai, Budi sekali lagi menyampaikan argumennya tentang pentingnya tindakan nyata. "Jika kita tidak segera mengimplementasikan kebijakan pengurangan emisi yang ketat, kita akan menghadapi konsekuensi yang lebih parah di masa depan. Penundaan hanya akan memperburuk situasi."

Anton, yang merasa bahwa pendekatan Budi terlalu ekstrem, menyela. "Budi, kamu selalu bicara soal kebijakan yang ketat ini, tapi, kamu tidak pernah memberikan solusi konkret yang bisa diterapkan tanpa menghancurkan perputaran ekonomi kita. Kamu memang pintar bicara, tapi apakah kamu pernah berpikir tentang bagaimana dampaknya bagi orang-orang yang bergantung pada industri-industri yang menghasilkan emisi tinggi?"

Budi menatap Anton dengan tegas. "Anton, kita harus memikirkan masa depan planet kita. Jika kita terus mempertahankan status quo demi ekonomi jangka pendek, kita hanya akan menunda masalah dan membiarkannya menjadi lebih besar."

Anton mulai kehilangan kesabaran. "Budi, kamu bicara seperti seorang idealis yang hidup di awang-awang. Kamu tidak pernah bekerja di dunia industri, kamu tidak pernah tahu bagaimana sulitnya membuat perubahan ini di lapangan. Orang-orang seperti kamu hanya tahu bicara, mana pernah melakukan aksi nyata."

Kata-kata Anton membuat Budi terdiam sejenak. Ia merasa diserang secara pribadi lagi. Namun, kali ini Budi memutuskan untuk menghadapi Anton dengan lebih tegas. "Anton, serangan pribadi seperti ini sangat tidak produktif. Kita di sini untuk berdiskusi tentang solusi, bukan untuk merendahkan satu sama lain. Pengalaman kerja atau latar belakang pribadi kita tidak relevan jika kita membicarakan tentang fakta ilmiah serta solusi yang diperlukan."

Sayangnya, Anton tidak berhenti sampai di situ. "Budi, kenyataan yang harus kamu hadapi adalah bahwa solusi yang kamu tawarkan tidak realistis. Kamu tidak punya pengalaman yang cukup untuk memahami kompleksitas dalam masalah ini."

"Anton, kita sudah berkali-kali berbicara tentang hal ini. Argumen ad hominem tidak akan membawa kita ke mana-mana. Kita perlu fokus pada data dan solusi, bukan pada siapa yang mengatakannya."

Diskusi di kafe menjadi semakin panas. Moderator sekali lagi turun tangan, berusaha menenangkan suasana. "Kita di sini untuk mencari solusi bersama. Mari kita hindari serangan pribadi dan fokus pada topik utama."

Setelah diskusi berakhir, Budi merasa lelah dan kecewa. Ia merasa bahwa Anton tidak benar-benar mendengarkan argumennya dan hanya mencari cara untuk merendahkannya. Malam itu, Budi memutuskan untuk menulis di blog pribadinya tentang pentingnya menghindari kesalahan logika dalam debat.

"Saat kita terjebak dalam Argumentum ad hominem, kita mengalihkan perhatian dari masalah sebenarnya dan merusak kualitas diskusi. Kita harus belajar untuk mendiskusikan ide dan fakta tanpa menyerang pribadi," tulis Budi.

Anton, di sisi lain, merasa frustrasi karena merasa bahwa Budi tidak memahami realitas praktis dari implementasi kebijakan yang diusulkannya. Ia merasa bahwa idealisme Budi, meskipun bermaksud baik, tidak memperhitungkan dampak nyata pada masyarakat.

Beberapa minggu kemudian, kafe itu mengadakan acara lain tentang solusi praktis untuk masalah lingkungan. Budi datang dengan harapan bisa berdiskusi secara konstruktif. Namun, kali ini ia memutuskan untuk lebih banyak mendengarkan daripada berbicara.

Saat diskusi berlangsung, Anton kembali melontarkan komentar yang meremehkan pandangan Budi. "Kita harus realistis, tidak seperti beberapa orang yang hanya bisa bicara tanpa memberikan solusi nyata."

Budi tetap tenang dan memutuskan untuk tidak menanggapi secara langsung. Ia tahu bahwa melanjutkan perdebatan dengan serangan pribadi hanya akan memperburuk keadaan. Sebaliknya, Budi fokus pada argumen-argumen lain yang lebih terbuka dan konstruktif.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun