Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Argumentum Ad Hominem

5 Juni 2024   11:57 Diperbarui: 5 Juni 2024   13:45 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar oleh Mikhail Nilov dari pexel.com

Diskusi di kafe terhenti sejenak, semua mata tertuju pada Budi dan Anton. Moderator segera turun tangan, mencoba meredakan ketegangan. "Mari kita kembali ke topik utama dan hindari serangan yang bersifat pribadi. Kita di sini untuk berdiskusi dengan kepala dingin."

Diskusi dihentikan.

***

Setelah perdebatan panas di kafe itu, Budi dan Anton masih sering bertemu di "Diskusi Hangat". Namun, bayangan dari perdebatan sebelumnya belum sepenuhnya hilang. Anton, meski sudah meminta maaf, masih merasa bahwa pandangan Budi terlalu idealis dan tidak realistis. Di sisi lain, Budi mulai merasa bahwa Anton seringkali lebih mementingkan kepentingan pribadi dan juga kelompok tertentu daripada kebenaran secara ilmiah.

Selang beberapa minggu, kafe itu mengadakan diskusi khusus tentang implementasi kebijakan pengurangan emisi karbon di Argumenia. Budi dan Anton, seperti biasa, duduk bersama. Namun, suasana di antara mereka sedikit tegang.

Ketika sesi diskusi dimulai, Budi sekali lagi menyampaikan argumennya tentang pentingnya tindakan nyata. "Jika kita tidak segera mengimplementasikan kebijakan pengurangan emisi yang ketat, kita akan menghadapi konsekuensi yang lebih parah di masa depan. Penundaan hanya akan memperburuk situasi."

Anton, yang merasa bahwa pendekatan Budi terlalu ekstrem, menyela. "Budi, kamu selalu bicara soal kebijakan yang ketat ini, tapi, kamu tidak pernah memberikan solusi konkret yang bisa diterapkan tanpa menghancurkan perputaran ekonomi kita. Kamu memang pintar bicara, tapi apakah kamu pernah berpikir tentang bagaimana dampaknya bagi orang-orang yang bergantung pada industri-industri yang menghasilkan emisi tinggi?"

Budi menatap Anton dengan tegas. "Anton, kita harus memikirkan masa depan planet kita. Jika kita terus mempertahankan status quo demi ekonomi jangka pendek, kita hanya akan menunda masalah dan membiarkannya menjadi lebih besar."

Anton mulai kehilangan kesabaran. "Budi, kamu bicara seperti seorang idealis yang hidup di awang-awang. Kamu tidak pernah bekerja di dunia industri, kamu tidak pernah tahu bagaimana sulitnya membuat perubahan ini di lapangan. Orang-orang seperti kamu hanya tahu bicara, mana pernah melakukan aksi nyata."

Kata-kata Anton membuat Budi terdiam sejenak. Ia merasa diserang secara pribadi lagi. Namun, kali ini Budi memutuskan untuk menghadapi Anton dengan lebih tegas. "Anton, serangan pribadi seperti ini sangat tidak produktif. Kita di sini untuk berdiskusi tentang solusi, bukan untuk merendahkan satu sama lain. Pengalaman kerja atau latar belakang pribadi kita tidak relevan jika kita membicarakan tentang fakta ilmiah serta solusi yang diperlukan."

Sayangnya, Anton tidak berhenti sampai di situ. "Budi, kenyataan yang harus kamu hadapi adalah bahwa solusi yang kamu tawarkan tidak realistis. Kamu tidak punya pengalaman yang cukup untuk memahami kompleksitas dalam masalah ini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun