PADRI termenung memandangi langit kelabu, bulan saja enggan menampakkan wajahnya di hadapan Padri, hanya ada kelelawar yang sibuk hilir-mudik menghiasi langit yang sedang muram, gundah di hati Padri semakin pekat ketika wajah iblis-iblis betina itu mucul tiba-tiba di dalam benaknya.
***
"Sayang," Panggil Yusi dari kejauhan, Padri menoleh, matanya mencari arah suara dari perempuan yang telah memikat hatinya. Yusi melambai-lambaikan tangannya ke udara, berharap Padri melihatnya, perkiraan Yusi tepat, dengan mudah Padri mendapati wajah cantik Yusi di tengah keramaian itu. "Sini..." ucap Yusi tanpa suara, hanya gerakan bibir dan lambaian tangan yang nampak oleh Padri dari kejauhan.
Dengan penuh semangat Padri menghampiri Yusi yang sedang duduk di bawah pohon ketapang. Setelah Padri menghempaskan tubuhnya di kursi, dengan sigap Yusi menawari Padri minuman yang terpampang di dalam daftar menu, "Kamu mau minum apa, Bang? Kopi?" Yusi menatap Padri manja.
Padri terdiam tanpa kata ketika melihat wajah cantik dengan yang mata indah menatapnya manja, "Bang... ditanya kok malah diem!"
Padri tetap diam, dia sedang menikmati wajah Yusi dengan tatapan manjanya, jauh di dalam jiwa Padri ada perasaan yang meletup-letup tidak mampu dia menahannya, Padri ingin meluapkan perasaan itu sesegera mungkin dia tidak ingin menundanya, "Yusi... aku ingin kamu jadi ibu untuk anak-anak aku!" Kata-kata itu meluncur begitu saja, bahkan Padri sendiri belum sempat merangkai kalimat itu di kepalanya.
Mendengar ucapan yang meluncur terbata-bata membuat Yusi menatapnya nanar, Yusi bingung, dia memang menaruh hati pada Padri, tapi saat ini bukanlah waktu yang tepat, karena Yusi ingin mengejar mimpinya terlebih dahulu, Yusi tidak ingin ikatan pernikahan membelit langkahnya untuk meraih tujuan hidupnya. "Aku belum siap, Padri..."
***
Waktu berjalan begitu cepat, Yusi sudah tidak lagi mengisi hari-hari Padri, semenjak lulus kuliah dan bekerja sebagai artisan hidupnya sudah sibuk dengan dunia imajinasi, bukan hanya itu, ada Marlini dalam keseharian Padri yang membuat lupa dengan Yusi, Marlini memang sangat berbakat, terutama dalam dunia desain gambar, Marlini berhasil membuat Padri semakin liar dalam berimajinasi.
Semakin lama tentu perasaan Padri semakin kuat pada Marlini, tapi sayangnya, Marlini tanpak cuek, tidak menunjukkan tanda-tanda apa pun pada Padri, melihat gelagat Marlini seperti itu, Padri tidak mau ambil resiko, apa lagi mereka sudah saling mengenal seperti sahabat lama meskipun usia perkenalan mereka baru seumur jagung.
Padri salah menilai Marlini, cuek bukan berarti tidak cinta, bukan? Memang seperti itu karakternya, andai saja hati Marlini dapat dibelah, dapat dipastikan hanya ada nama Padri di dalamnya, terlukis indah di dinding jantung hati Marlini, andai saja Padri tahu tentang hal ini, pastilah Padri akan menyatakan perasaan yang dipendamnya itu.
Seiring dengan berjalannya waktu, Padri dan Marlini semakin dekat, orang tua Marlini melihat gelagat anak gadisnya yang nampak dekat dengan seorang pria tentu mempertanyakan langkah selanjutnya, orang tua Marlini hanya ingin yang terbaik untuk anak perempuan semata wayangnya itu.
"Mar... sini... duduk di sini, Ibu mau bicara!" pinta Ibu pada Marlini ketika dia baru saja pulang, ibunya Marlini mengintip dari jendela, ketika dia baru saja di antar pulang oleh Padri, ibunya Marlini sudah lama kenal dengan Padri, karena Padri sering ke rumah Marlini untuk mengerjakan beberapa proyek artisan dari kantor.
"Ada apa bu?" tanya Marlini lembut sambil memeluk lembut ibunya yang sedang duduk di sofa.
"Kenapa Padri belum melamar kamu?" tanya ibunya Marlini serius, matanya menatap marlini tajam.
Marlini langsung berdiri, "Enggak tau, Ibu tanya aja deh sama orangnya besok!" Marlini pergi meninggalkan ibunya.
Padri bukannya tidak ingin menyatakan perasaan yang sangat menggebu-gebu yang selalu dia pendam pada Marlini, tapi karena ibunya Padri sudah melarang Padri untuk dekat dengan perempuan itu, ibunya Padri tidak suka dengan perempuan bertato, merokok, tindikannya banyak, mau jadi apa anak kalian nanti, begitu kurang lebih kata-kata ibunya Padri.
***
Padri dinikahkan dengan pilihan orang tuanya, gadis desa yang sangat polos, meskipun dia sarjana tapi perempuan yang menjadi istri Padri adalah seorang wanita rumahan, tidak pandai bersolek seperti Yusi yang cantik atau Marlini yang gotik, gadis itu bernama Nurbaiti.
Padri diterbangkan jauh ke luar kota, agar dapat melupakan Marlini oleh orang tuanya sebelum dinikahkan dengan pilihan mereka, di sana, Padri juga diberikan sebuah usaha yang bergerak dibidang desain grafis. Padri memang anak yang ulet dan sangat penurut, tak butuh waktu lama, usaha Padri berkembang pesat.
Setelah menikah dengan Nurbaiti selama tujuh tahun, mereka belum juga dikaruniai buah hati, sudah berbagai macam program dilakukan, kecuali bayi tabung yang belum mereka laksanakan, alasan Nurbaiti sederhana, ia ingin proses perjumpaan sel telur dengan sel sperma dengan izin Tuhan, bukan dengan campur tangan manusia di dalam laboratorium.
Namun, Padri selalu menentang alasan Nurbaiti, menurut Padri, kalau memang sudah takdir, bayi itu akan besar dan tumbuh di rahim Nurbaiti juga, mengapa harus dipermasalahkan proses awalnya?
Mereka selalu berselisih, semakin lama pernikahan mereka semakin menemukan titik jenuh, satu dengan yang lain sudah tidak lagi menemukan kebahagian. Mereka pernah hampir bercerai tapi, adik ipar Padri, Zul, membujuk Padri agar sedikit bersabar menghadapi ujian ini.
Sementara, kesibukan Padri dengan usahanya yang semakin maju membuat waktu perjumpaan antara Padri dengan Nurbaiti yang semakin jauh. Padri sering pergi ke luar kota untuk rapat dengan klien, sementara Nurbaiti hanya di rumah saja, dia bukan seorang wanita yang mempunyai mimpi besar, mimpinya hanya ingin membangun keluarga yang bahagia bersama pasangan hidupnya.
***
"Padri?" panggil Yusi. Dia terkjut, karena laki-laki pemilik Pad Entreprise perusahaan yang bergerak dibidang konsultan Advertising adalah Padri. Pad Enterprise perusahaan yang sangat terkenal, karena desain-desainnya yang sangat artistik dan tajam, dengan harga yang sangat terjangkau serta menawarkan solusi tekhnik yang dapat diandalkan.
"Yusi?" Mata Padri membelalak, dia benar-benar terkejut melihat perubahan pada diri Yusi yang semakin terlihat seperti wanita dewasa yang anggun, Yusi adalah Direktur Pemasaran di perusahaan itu.
Dalam sekejap lensa mata mereka menangkap kenangan indah yang pernah mereka lalui bersama dulu di waktu kuliah, ketika saling beradu pandangan bola mata mereka berdua tidak berkedip dalam beberapa saat.
"Bu Yusi udah kenal sama Pak Padri?" tanya Mela sekertaris Yusi yang membuyarkan lamunan yang terasa panjang meskipun hanya sekejap.
"Ee... iya, kami dulu pernah satu kampus," ucap Yusi gugup sambil tergesa-gesa menarik bangku di ruang rapat.
Perjumpaan yang tidak diharapkan oleh Padri dan Yusi belum berakhir hari itu, beberapa menit setelah kejadian canggung di ruang rapat itu, Marlini masuk secara tiba-tiba membawa Laptop yang masih terbuka dengan tampilan layar beberapa desain yang pernah Padri kirim beberpa hari yang lalu.
"Marlini?" panggil Padri, suaranya tercekat.
Marlini menatap Padri tajam, sepertinya ada sedikit dendam yang membara di retina mata Marlini.
***
Padri masih termenung memandangi awan-awan yang kelabu, dia membakar rokok kreteknya, lalu dihisapnya dalam-dalam.
"Tuhan mengapa kau kirim mereka?" ucap Padri lirih.
Mereka berdua belum menikah, dan mereka berdua semakin dekat dengan Padri setelah perjumpaan itu.
-Tamat-
Iqbal Muchtar   Â
  Â
Terisnpirasi dari tulisan pak Budi Susilo yang berjudul Mencintai Kulkas Dua Pintu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H