Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lepaskan Ikatan Itu, Amaraloka

11 Mei 2024   14:28 Diperbarui: 11 Mei 2024   16:25 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku mohon," ucap Denis, sorot matanya sayu, dia mengatakan kalimat itu dari lubuk hatinya yang paling dalam, dia memohon pada Amara, "tolong... lepas aku."

Amara diam, pikirannya melayang jauh ke masa itu, kala itu waktu bersahabat dengannya dalam merajut untaian kebahagian, kenangan demi kenangan terlintas jelas di benaknya, Amara tersenyum, senyum itu bukan jawaban dari permintaan Denis, melainkan sebuah memori yang baru saja muncul di pelupuk matanya.

"Biarkan aku menjalaninya dengan tenang," Denis menunduk, dia menyesali pertemuannya dulu, andai saja Amara tidak hadir dalam kisah hidupnya, mungkin Denis tidak akan sekalut ini. Andai saja waktu dapat diputar, Denis ingin kembali ke masa itu, satu waktu yang mempertemukan mereka berdua, Denis akan menghindari perjumpaan dengan Amara, Denis akan lari, jauh, sejauh-jauhnya.

"Aku ini air yang selalu menyejukkan batinmu, Denis." tegas Amara sambil menatap Denis tajam, sorot matanya menusuk sanubari Denis yang sedang menunduk dan diliputi perasaan kalut, rasa bersalah yang amat besar. 

"Ini salah Amara, kita salah... semua ini salah, Amara" Denis mengangkat kepalanya, sudah tak karuan ekspresi wajah Denis saat mengucapkan kalimat itu, ia hanya berharap semuanya berakhir segera, tapi tidak dengan Amara, ketika Denis mengatakan kalimat itu, sorot matanya semakin liar, bola mata Amara yang berapi, membara dengan tegas membuat Denis ciut.

"Di mana, salahnya di mana?" tanya Amara yang terlhat agak sedikit marah, Amara merasa hubungan mereka tidak salah, hubungan mereka adalah buah cinta yang Tuhan tanam di hati mereka berdua, bahkan Amara merasa bahwa cintanya seharusnya berlabuh di hati Denis, bermekaran indah di taman jiwanya Denis, begitulah mimpi Amara pada Denis.

"Aku harus pergi..." Denis berdiri, dia sama sekali tidak menatap Amara.

"Tunggu..." Amara menahan langkah Denis, tangan Amara menahan langkah Denis, "aku... aku mau menghabiskan malam ini, sama kamu..." pinta Amara dengan wajah memohon, kali ini Amara yang terlihat sedih, berbeda dengan Denis yang sejak tadi menekuk wajahnya, kini berubah marah.

Denis membuang wajahnya dari pandangan Amara, dia sama sekali tidak ingin melihat Amara, "Enggak... kita enggak boleh begini terus, kita harus berhenti," Denis berusaha melepas genggaman tangan Amara, "Tolong, lepas, aku harus pergi."

"Denis, aku tau kita enggak mungkin bisa bersatu, aku tau itu, Denis," Air mata Amara perlahan menetes, "aku cinta kamu Denis, aku yakin, aku tidak salah, sadar gak sih kamu, Tuhan selalu memberikan jalan untuk selalu bertemu denganmu?"

"Amara, kita enggak akan pernah bisa bersatu, kita enggak ditakdirkan untuk bersama, kamu udah punya jalan hidupmu sendiri, teruslah berjalan, jangan pernah berhenti, jangan lagi kamu hancurkan perjalanan hidup yang sudah sempurna itu, jangan liat ke belakang, liat aja masa depan kamu," ucap Denis parau sambil menarik paksa tangannya yang digenggam erat Amara.

"DENIS..." teriak Amara histeris.

***

"Sayang... bangun," Joshua berusaha membangunkan Amara, "kamu kenapa, Sayang?" tanya Joshua yang terlihat panik, Joshua terbangun dari tidurnya karena mendengar Amara yang mengigau kencang, peluh Amara menyembul di wajahnya yang terlihat pucat.

Amara terduduk tiba-tiba, nafasnya tersengal-sengal, matanya membelalak namun tapatan matanya kosong, selang beberapa detik kemudian, di sudut matanya digenangi oleh kesedihan, menggelayut di kelopak matanya, karena sudah tidak lagi tertampung, mengalirlah kesedihan itu membasahi pipinya yang halus.

Melihat kondisi Amara yang tidak karuan, Joshua segera memeluknya, "Kamu enggak apa-apa kan, Sayang?" tanya Joshua berusaha meyakinkan dirinya bahwa Amara, istrinya baik-baik saja, Joshua mengelus-elus punggung Amara, sesekali mengelus rambutnya, "Aku di sini, Sayang... Aku di sini... kamu enggak sendirian, aku di sini..." ucapnya berkali-kali untuk membuat Amara tenang. 

Berbeda dengan Amara, dia berusaha untuk melepas pelukan itu, namun karena tubuh Joshua yang besar, Amara kesulitan melepas pelukan itu, dari dalam lubuk hatinya yang paling dalam Amara hanya ingin menangis saja, dia ingin menumpahkan semua kesedihan yang sedang bergelayut di hatinya, dia tidak butuh Joshua, dia tidak butuh pelukan Joshua, dia hanya ingin Denis hadir memeluk dirinya bersama dengan rindunya, lalu membiarkannya hanyut dalam pelukan malam, hanya itu yang Amara inginkan.

"Lepas, Joshua... lepas..." pinta Amara lirih.

 Joshua melepas pelukannya, diam sejenak kemudian perlahan menjauh, Joshua memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur, dia masih menatap Amara, namun kali ini tatapan yang berbeda dari sebelumnya, sorot mata Joshua memancarkan api cemburu, ada sedikit penyesalan dalam hati Joshua, seharusnya sejak dulu dia menyadari hal ini, Amara memang tidak sepenuhnya mencintai Joshua, tersisa satu nama dengan kisah yang tidak dapat dilupakan Amara, seharusnya Joshua sadar sejak awal perjumpaan mereka, Amara hanya mencari status setelah perceraiannya.

Joshua berjalan menuju jendela besar di sudut kamarnya, setelah menikah mereka beruda tinggal di sebuah apartemen, pemandangan dari jendela besar di kamar mereka sangat indah, terutama di malam hari, cahaya lampu dari kesibukan kota yang tidak pernah tidur itu terlihat sangat romantis, apartemen ini pun Amara yang memilihnya, Joshua menatap jauh ke dalam hiruk-pikuk kesibukan kota di waktu malam, namun, pikirannya tertambat oleh api cemburu yang membakar hatinya.

"Kenapa kamu mau menikah denganku, kalau hatimu masih ada untuk dia?" tanya Joshua sambil menghembuskan jauh-jauh asap yang berasal dari sebatang rokok yang terselip di antara jarinya.

Amara masih terpaku di ranjang itu, tangisannya semakin menjadi-jadi, Amara tidak tahu bagaimana cara mengutarakan isi hatinya, dia memang mengakui kesalahan yang pernah di lakukannya dulu, begitu pun Denis, dia pun menyadari bahwa perjumpaan mereka adalah sebuah kesalahan, tapi, mengapa Tuhan selalu saja memberikan waktu untuk saling beririsan dalam lingkaran kisah kehidupan Amara dan Denis? 

Amara yakin, Denis sudah menghapus namanya untuk selama-lamanya, tapi, kenapa Tuhan selalu menghadirkan orang-orang yang rupanya mirip sekali dengan Denis? Apakah Amara tidak boleh melupakan Denis, melanjutkan hidup? merajut kisah baru? Denis pernah membuat Amara terluka, tapi kenapa Amara selalu punya sejuta alasan untuk memaafkannya, Amara selalu punya senyum di esok hari ketika berjumpa? 

Isak tangis Amara sangat memilukan, sayangnya suara sayup-sayup dari tangisan itu semakin membuat Joshua naik pitam, "Pergi, aku tidak sudi melihat kamu di sini!"

"Jangan, Joshua... tolong jangan usir aku!" Amara bangkit dari ranjang, setengah berlari menghampiri Joshua yang tidak menatapnya sama sekali ketika mengusirnya, "Joshua... aku istrimu!" Amara memohon sambil bersimpuh di bawah kaki Joshua. 

"Kamu tidak pantas menjadi pendamping hidupku," ucap Joshua sambil menunjuk wajah Amara yang bersimpuh di bawah kakinya.

"Joshua, aku tidak akan pernah kembali pada Denis," Amara berusaha berdiri, "aku masih menyimpan nama itu, karena dia sudah pergi jauh... sangat jauh Joshua, dia tidak akan pernah kembali," ucapnya sambil terisak, Arama berusaha merangkul lengan Joshua.

"Alasan... dasar wanita murahan," teriak Joshua sambil mendorong tubuh Amara. Tubuh Amara terpental, kepala bagian belakangnya terbentur meja rias, karena benturan keras itu membuatnya kesulitan bernafas, dengan sekuat tenaga Amara mencoba untuk berteriak memanggil nama suaminya, akibat benturan itu membuatnya tidak dapat mengucapkan satu kata pun, hanya gelagapan saja yang nampak di mata Joshua.

"Enggak usah pake drama!" Joshua langsung membuang wajahnya ketika melihat Amara yang sedang kesulitan bernafas itu.

Di pelupuk mata Amara terlintas sebuah kenangan pahit yang sulit di lupakannya, kenangan ketika Denis pergi meninggalkannya untuk selamanya, persis seperti ini, Denis terjatuh dari tangga, mereka bertengkar karena Denis ingin menyudahi hubungan asmaranya dengan Amara.

-Tamat-

Iqbal Muchtar  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun