Mengapa semua manusia di atas wajah bumi ini selalu mempertanyakan tentang surga? Sepertinya manusia-manusia itu tidak mengerti arti kata surga. Mungkin saja mereka, manusia-manusia itu hanya mendengar tentang surga tanpa pernah mengerti maknanya.
Mereka salah, karena mereka berfikir surga itu sesuatu yang indah, sesuatu yang tidak pernah nampak di mata manusia, tempat melampiaskan nafsu-nafsu yang selalu terlarang, tempat kesenangan yang abadi.
Mereka, manusia-manusia itu tidak juga percaya dengan ucapanku, untuk apa aku berdusta, aku katakan pada mereka, kalau dia sedang menantikanku di pintu surga, lalu, mereka mencemoohku, lantas, apa salahku?
"Mana mungkin, Badrun!" sangkal Cecep, dia lah manusia yang paling tegas menentang ucapan-ucapanku
"Kenapa, enggak mungkin?" tanyaku, sorot mataku penasaran, aku ingin menantikan jawaban yang keluar dari mulut Cecep.
"Hei, Badrun... ibadah aja enggak pernah, lalu, kamu mengharap surga?" Cecep menunjukku, suatanya agak meninggi ketika mengatakan kalimat itu. Aku sama sekali tidak sakit hati dengan ucapan Cecep, tapi, aku penasaran, bagaimana Cecep bisa dengan entengnya mengatakan aku tidak pernah ibadah? tunggu! atau jangan-jangan Cecep tidak mengerti makna dari ibadah?
"Cep, ibadah itu apa?"Â
"Ibadah aja kamu enggak tau, Badrun?" Cecep mengejekku, dia menepuk pundakku, "Hahahaha... udahlah, enggak usah ngomong surga!" ucap Cecep sambil tertawa terpingkal-pingkal.
Cecep lantas pergi meninggalkanku setelah mengatakan hal itu.
***
Alih-alih kesal Badrun malah ternganga, dia benar-benar tidak mengerti, mengapa manusia-manusia itu selalu saja membandingkan ibadah yang telah mereka lakukan dengan surga?
Rasanya manusia-manusia itu lupa, bahwa ibadah kalian itu tidak akan pernah menjadi jaminan, atau tiket menuju surga, lihat saja, Wati tetangga di kontrakan Badrun, mengambilkan air minum ketika suaminya pulang saja tidak pernah, suaminya pulang salah, tidak pulang semakin salah.
Badrun berfikir ingin mengejar Cecep dan menjelaskan sebuah contoh Wati, Cecep pun tahu betul masalah di keluarga itu, tapi, Badrun mengurungkan niatnya, karena melintas satu nama di kepalanya, Rida.
"Tunggu..." teriak Badrun, "Cep, kamu masih ingat Kokom?"Â
Mendengar nama itu membuat langkah Cecep terhenti, dia berbalik arah, wajahnya seketika berubah, langkahnya terlihat berat, tangannya dikepal, "Jangan pernah kau sebut nama perempuan itu!"
"Tenang Cep, tenang..." Badrun merangkul Cecep, Badrun tau cara menenangkan Cecep, karena mereka berdua sudah saling mengenal sejak mereka duduk di bangku Sekolah Dasar, hingga saat ini, mereka menjadi pemulung di Jakarta, semua masalah mereka atasi bersama, termasuk masalah yang bersangkutan dengan nama Kokom
Kokom, dulunya istri Cecep, tapi, semenjak pindah ke Jakarta, Kokom berubah, padahal dahulu waktu masih di kampung, Kokom istri yang baik, penurut dan selalu menjaga hatinya, sejak awal Badrun selalu bilang pada Cecep, Kokom tidak usah dibawa ke Jakarta, tapi, Cecep bersikeras, dia merasa jauh dari istri sangat menyiksa batinnya.
Setahun di Jakarta, Kokom tidak menunjukkan gelagat yang mencurigakan, beranjak di tahun ketiga, Kokom sering pulang malam, sebenarnya, bukan salah Kokom, Cecep menyuruh Kokom ikut mencari uang, tujuannya agar Kokom tidak bosan, karena hanya diam saja di rumah, Kokom bekerja di sebuah toko ponsel, karena wajahnya ayu, tubuhnya pun molek, maklum, belum turun mesin, Kokom langsung ditawari menjadi SPG, dia pun menggangguk.
Awal-awal, Cecep senang melihat perubahan pada istrinya, Kokom itu seperti batu permata yang belum dipoles, kecantikannya tersembunyi, semenjak menjadi SPG di toko handphone, Kokom semakin bersinar, api cemburu membara di hati Cecep.
Sayang, nasi sudah menjadi bubur, Kokom pergi meninggalkan Cecep, hati Cecep benar-benar hancur, untung saja ada Badrun yang selalu berusaha menenangkan Cecep.
***
"Aku tahu Cep, kamu tidak mau dengar nama itu, tapi... apa dia bisa menanti kamu di surga?" tanyaku, ketika Cecep berada persis di hadapan Badrun dan sedang bersungut-sungut.
"Sudah, aku enggak mau denger ocehan kamu lagi, Badrun."
Badrun diam, dia hanya melangkahkan kakinya menuju tempat pengepul, dia harus menimbang, plastik, kardus dan juga beberapa barang lainnya yang ada di keranjang yang di gembloknya.
"Badrun? apa kamu rindu istrimu?'Â
"Enggak..." ucapku santai, Cecep terngaga mendengar jawabanku. Siti itu istri yang sholehah, tidak sama seperti Kokom yang kabur bersama laki-laki lain, dan juga tidak sama seperti Wati yang setiap hari berantem dengan suaminya.
"Kenapa?"
"Karena, aku tahu, dia sedang menantiku di pintu Surga."Â
-Tamat-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H