MEREKA berbaris rapi bak prajurit yang sedang menjaga negeri, mereka tersusun dalam urutan tahun, jenis dan juga Tuhan yang telah menciptakannya, tubuh mereka sudah lusuh, namun semangat mereka tak pernah padam.
Mereka akan bersuara lantang tiap kali lembaran-lembaran dari tubuh mereka yang telah menguning karena termakan zaman terbuka, lembaran-lembaran itu telah melewati banyak sekali kenangan dan sejarah yang ikut bersamanya, sayangnya, mereka tidak mampu mengungkapkan rasa senang, sedih, luka, duka, dan nestapa yang membersamainya.
Andai saja, mereka dapat berbicara, tentu akan banyak sekali kisah yang akan di ceritakannya, mungkin saja mereka akan mengisahkan tentang seorang perempuan yang sangat sayang padanya, hingga tidur pun tubuh mereka tidak lepas dari pelukkannya, atau, boleh jadi, mereka akan mengisahkan seorang laki-laki yang hanya meminangnya, lalu membiarkan tubuh mereka menua tanpa pernah menyetubuhinya.
Andri, dia menatap salah satu dari mereka dengan tatapan nanar, wajahnya berseri-seri, mungkin dia pernah bergumul mesra dengannya, atau, mungkin saja salah satu di antara mereka itu pernah membuat Andri jatuh hati hingga palung terdalam dari jiwanya, karena, biji bola mata Andri menahan kelopak agar tidak berkedip, dia tidak ingin kehilangan rasa bahagia yang membanjiri perasaannya yang meluncur deras hingga ke otak.
"Sudah ketemu?" tanya seorang pria tua yang sedang menyusun prajurit-prajurit pengetahuan itu. Suara parau dari pria tua itu membuyarkan lamunan panjangnya, Andri sedang merajut kenangan demi kenangan bersama buku lusuh yang ada di hadapannya itu.
Andri hanya diam, wajah yang tadi sumingrah seketika berubah, "Buku ini kapan datennya, Om?" tanyanya sambil menggenggam buku yang sudah tidak lagi beraturan bentuknya.
Sampulnya sudah hampir pudar, lembar-lembarnya ada yang sobek dan di rekatkan kembali dengan isolasi yang juga telah menguning, tubuhnya benar-benar kumuh, berdebu dan aroma tubuhnya sudah tidak lagi seperti dulu.
Andri agak sedikit kesal ketika menggenggam tubuhnya saat itu, terbayang oleh Andri, ketika pertama kali meminangnya, tubuhnya masih sintal, padat, menggemaskan, Andri masih ingat waktu pertama kali melepas pakaian yang membalut tubuh indah itu, ada nafsu yang memburu, setelah semua tanggal, Andri menekuknya, lalu, dilekatkan hidungnya di antara lipatan-lipatan lembaran tubuhnya, Andri selalu melakukan hal itu, dia senang dengan aroma tubuh dari buku-buku yang baru, dia menyebutnya aroma pengetahuan.
Air matanya tidak menetes di mata, namun di hatinya, air kesediahan itu deras membasahi setiap inchi dari tulang rusuknya, bagi Andri, buku itu adalah belahan jiwa, pasangan hidup, cinta sejati, semua kata-kata cinta akan dimuntahkannya, hanya untuk meluapkan rasa yang tak terbendung di dalam kalbu.
"Kemaren, ada pemulung yang jual buku itu..." Laki-laki tua itu menatap Andri dalam, nampaknya, laki-laki tua itu ingin mencari tahu sesuatu, karena Andri terlihat jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya, Andri memang sering singgah di toko buku loak miliknya, bisa dikatakan, Andri adalah pelanggan tetap pak tua yang sering dipanggil Om oleh Andri, semua jenis buku-buku unik yang tidak ada di toko buku besar yang hanya mengejar pasar itu lah target utamanya, pak tua itu tahu betul selera Andri, namun, bari kali ini dia memegang buku itu dengan ekspresi yang tidak biasanya.
"Pemulung itu sering ke sini, Om?" tanya Andri penasaran.
"Ya, kadang-kadang," ucap pak tua santai, meskipun dia ingin tahu isi pikiran Andri saat itu.
"Om punya nomor ponsel pemulung itu?" Andri terlihat memaksa.
"Ngawur... untuk apa tanya-tanya nomor telepon dia!" Laki-laki tua itu nampak bersungut-sungut, memang seperti itu ekspresi wajahnya kalau bicara, maklum saja orang tua, Andri tidak pernah ambil pusing dengan gaya bicara dan ekspresinya ketika berdiskusi dengan laki-laki tua itu, "eh, kenapa kamu mau tau?" sambung laki-laki tua itu dalam pertanyaan, ia benar-benar penasaran.
Andri semakin gelisah, jelas sekali raut wajahnya resah, seperti sedang berfikir keras namun ada juga rasa takut di dalam guratan wajahnya saat itu.
"Andri... kenapa kamu?" tanya pak tua tegas, ia ingin memastikan Andri baik-baik saja, sebenarnya pak tua itu ingin membantunya, itu pun kalau Andri mau cerita, Andri sangat tertutup, meskipun dia sering mampir ke toko buku loak itu, Andri hanya baca, minum kopi, merokok lalu pergi, kata-kata yang meluncur dari mulutnya pun dapat dihitung jari.
"Buku ini pernah jadi teman hidup saya, Om," Ketika Andri megatakan kalimat itu, matanya perlahan bercaka-kaca, mungkin sudah tidak lagi terbendung, air kesedihan itu kini meluap hingga ke pelupuk mata, "Penulis buku ini pernah bilang ke saya... Saya tidak akan mungkin ada selamanya, tapi, tulisan ini akan ada selamanya," Air mata itu akhirnya tumpah juga setelah bergelayut cukup lama di dalam jiwa.
Laki-laki tua yang sedang sibuk membuat barisan buku-buku yang terlihat bak prajurit sejati itu akhirnya berdiri dan lalu menghampirinya.
"Emang siapa sih yang nulis?" Laki-laki tua itu tidak tau cara menghibur orang lain, dia sudah terlalu lama hidup sendiri, istrinya lari bersama laki-laki yang lebih kaya materi, anaknya pun telah lama pergi, dia hidup sendiri, hanya barisan prajurit pengetahuan saja yang menemani, terkadang Andri yang singgah di antara waktu-waktunya yang selalu menggerogoti.
"Bukan penulis terkenal," balas Andri. Pak tua itu semakin memicingkan matanya, mencari nama dari penulis buku lusuh yang sedang digenggam Andri.
"Coba liat!" pinta laki-laki tua itu sambil menyodorkan tangannya.
"Saya belum pernah tahu nama ini!" celoteh laki-laki tua itu sambil membolak-balik tubuh lusuh dan berdebu itu.
"Sini," pinta Andri, dia kesal, karena laki-laki tua itu nampak sangat tidak menghormati tubuhnya, seharusnya dia tahu, tubuhnya sudah tak lagi seperti dulu, tubuhnya sudah tidak lagi menggiurkan, tubuhnya sudah tidak seperkasa dulu, Andri ingin laki-laki tua itu memperlakukannya dengan baik, dengan sentuhan-sentuhan lembut yang dapat membuatnya bahagia, bukan membolak-baliknya dengan kasar seperti yang baru saja dilihatnya.
"Kamu kenal, sama penulisnya?"
Pertanyaan itu tidak dijawabnya, Andri hanya diam, dijelaskan pun percuma saja, tidak akan membuat penulis ini menjadi terkenal juga, memang benar ucapan penulis itu dulu, tak perlu dikenal, hanya perlu menulis, karena semakin dikenal, akan semakin besar tanggung jawab yang diembannya.
Ya, kalimat itu memang terbukti, banyak sekali diskusi-diskusi yang telah Andri kunjungi, hampir semua manusia yang hadir di tempat itu akan menghujani dengan kalimat-kalimat yang ada di benak mereka, dan warnanya pun berbeda-beda, ada yang berwana hitam legam ada juga yang berwarna seperti pelangi, ada yang berwarna jingga seperti senja, ada juga yang berwarna terang seperti siang, ada juga yang tidak mengerti apa warna dari tato yan ditorehkan di tubuh-tubuh yang rapuh itu.
Buku yang masih digenggamnya itu memiliki sebuah nama, melekat hingga tubuhnya menua, Sanjaya, nama pena yang terselip di sampul halaman depan yang telah lusuh.Â
Siapa yang kenal Sanjaya? Tidak ada, karena Sanjaya bukanlah seorang Gigolo yang sering menjadikan tubuh-tubuh mereka bisnis bagi para pengusaha, Sanjaya benar-benar seorang penikmat sejati, ia hanya berikan pada jiwa-jiwa yang ingin menikmati tubuh indah yang penuh dengan pengetahuan itu.
"Sanjaya?" tanya Andri, "om, pernah dengar namanya?"
"Belum pernah." Laki-laki tua itu terlihat sedang memutar otak, dia agak ragu, mungkin saja pernah, atau mungkin saja belum.
"Om pernah tahu nama saya?"
"Andri!" Â Â
Andri menyodorkan tangannya, matanya tajam menatap laki-laki tua itu, "Saya Andri Sanjaya."
-Tamat-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H