"Saya belum pernah tahu nama ini!" celoteh laki-laki tua itu sambil membolak-balik tubuh lusuh dan berdebu itu.
"Sini," pinta Andri, dia kesal, karena laki-laki tua itu nampak sangat tidak menghormati tubuhnya, seharusnya dia tahu, tubuhnya sudah tak lagi seperti dulu, tubuhnya sudah tidak lagi menggiurkan, tubuhnya sudah tidak seperkasa dulu, Andri ingin laki-laki tua itu memperlakukannya dengan baik, dengan sentuhan-sentuhan lembut yang dapat membuatnya bahagia, bukan membolak-baliknya dengan kasar seperti yang baru saja dilihatnya.
"Kamu kenal, sama penulisnya?"
Pertanyaan itu tidak dijawabnya, Andri hanya diam, dijelaskan pun percuma saja, tidak akan membuat penulis ini menjadi terkenal juga, memang benar ucapan penulis itu dulu, tak perlu dikenal, hanya perlu menulis, karena semakin dikenal, akan semakin besar tanggung jawab yang diembannya.
Ya, kalimat itu memang terbukti, banyak sekali diskusi-diskusi yang telah Andri kunjungi, hampir semua manusia yang hadir di tempat itu akan menghujani dengan kalimat-kalimat yang ada di benak mereka, dan warnanya pun berbeda-beda, ada yang berwana hitam legam ada juga yang berwarna seperti pelangi, ada yang berwarna jingga seperti senja, ada juga yang berwarna terang seperti siang, ada juga yang tidak mengerti apa warna dari tato yan ditorehkan di tubuh-tubuh yang rapuh itu.
Buku yang masih digenggamnya itu memiliki sebuah nama, melekat hingga tubuhnya menua, Sanjaya, nama pena yang terselip di sampul halaman depan yang telah lusuh.Â
Siapa yang kenal Sanjaya? Tidak ada, karena Sanjaya bukanlah seorang Gigolo yang sering menjadikan tubuh-tubuh mereka bisnis bagi para pengusaha, Sanjaya benar-benar seorang penikmat sejati, ia hanya berikan pada jiwa-jiwa yang ingin menikmati tubuh indah yang penuh dengan pengetahuan itu.
"Sanjaya?" tanya Andri, "om, pernah dengar namanya?"
"Belum pernah." Laki-laki tua itu terlihat sedang memutar otak, dia agak ragu, mungkin saja pernah, atau mungkin saja belum.
"Om pernah tahu nama saya?"
"Andri!" Â Â