Aku tak mampu menahan haru yang menghimpit dadaku, kutumpahkan melalui air mata. Ia bukan ibu kandungku tapi cintanya melebihi ibu yang melahirkanku ke dunia ini. Mereka menemukanku di sebuah panti asuhan, aku yatim-piatu, bahkan pihak panti pun tidak tahu siapa ayah dan ibu kandungku.
Mereka meninggalkanku di dalam sebuah bis bertinggkat jurusan Cililitan-Tanjung Priok dengan sebuah surat yang isinya hanya nama, tempat, tanggal lahir serta tahun aku di lahirkan, saat itu usiaku baru enam bulan, lalu supir bis tingkat itu menitipkanku ke panti asuhan, kemudian pihak panti melaporkan kasus ini ke pihak yang berwajib. Begitulah cerita yang aku tahu.
Sejak bayi aku tidak menangis, aku disabilitas sejak lahir, sepertinya ibu kandungku kurang gizi sehingga aku terlahir dalam keadaan seperti ini atau mungkin Tuhan sengaja menitipkanku kepada ibu Ufi dan suaminya. Mereka mengadopsiku ketika aku berusia 8 tahun.
Ibu ufi, maksdku---mama, mengadopsiku karena kedua rahimnya harus diangkat. Entah karena apa, aku tidak pernah bertanya pada mama, bagiku mengetahui alasannya saja sudah cukup, itu pun aku tunggu hingga usiaku 17 tahun. Aku tidak ingin kado apa pun, aku hanya ingin penjelasan dari mama, mengapa ia mau mengadopsiku dengan kondisi disabilitasku ini.
Mama sangat ekspresif sekali, ia mampu membaca tatapan mataku yang tertuju langsung menatapnya. Melihat air mataku menetes, ia mendekapkan kedua tangannya di dadanya, yang artinya "Aku juga merasakan apa yang kamu rasakan."
Tidak, mama. Tidak. Perasaan ini hanya aku yang rasakan, kasih sayang yang mama curahkan untukku hanya aku yang rasakan, hingga aku berhasil mendapatkan beasiswa di tanah Saudi, menamatkan S2-ku di Arab Saudi. Rasa syukur ini aku panjatkan kepada Tuhan agar mama diberikan imbalan dari mengasihiku, menyayangiku hingga aku dapat mengejar mimpiku.
***
KAMU, jangan kamu teteskan air matamu, nak. Tak sanggup hati ini menatapmu berderaian air mata seperti itu. Bukankah ini mimpimu, ingin melanjutkan pendidikanmu di sini.
Cukup, Nak. Jangan kamu tatap ibu yang belum sempurna dalam memberikan kasih sayang untukmu, hentikan, Nak!
"Mas," kutarik lengan baju suamiku.
"Kenapa?" Ia menatapku.