Memang sengaja aku menarik lengan bajunya, agar ia menoleh dan aku bisa melepaskan pandanganku dari anak yang bukan berasal dari rahimku, tapi aku mencintainya lebih dari apa pun yang aku miliki saat ini.
Anak yang sangat membanggakan, meskipun ia memiliki banyak sekali kekurangan, ia anak yang cerdas. Mengapa ibu kandungnya tega sekali meninggalkannya di dalam bis di malam hari, untunglah supir bis itu orang yang baik. Mengapa ibu kandungnya tidak pernah berfikir di luar sana banyak sekali wanita yang menginginkan kehadiran sang buah hati.
"Kenapa?" Suamiku menggenggam tanganku yang masih bergelayut dilengan bajunya. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya.
Aku berhasil melepaskan pandanganku darinya, setidaknya hingga ia naik podium dan menerima sertifikat kelulusan, kusimpan air mata ini untuk momen itu.
***
Melihat mama melepaskan pandangannya, aku kembali duduk tegak di kursiku menunggu giliranku untuk melewati para profesor yang berdiri gagah diatas podium itu.
Pikiranku melayang jauh teringat ketika aku masih kecil, mama mengajarkanku berkomunikasi dengannya, karena saat itu usiaku baru 8 tahun, aku frustasi, begitu pun mama. Entah mengapa ia nekat mengadopsiku yang serba kekurangan ini, berkomunikasi denganku saja ia tidak mampu.
Satu minggu bertahan, akhirnya aku memutuskan untuk pergi dari rumah besar itu. Aku ingin kembali ke panti saja bersama teman-temanku yang jahil tapi mereka mengerti keinginanku, aku tahu mereka sebenarnya sayang padaku, hanya saja aku yang tidak tahu cara mengungkapkannya.
Setelah aku membereskan semua pakaian yang aku masukan kedalam tas, hanya beberapa helai saja yang kubawa kembali ke panti. Mama menghentikan langkahku, ia bersimpuh berderaian air mata menahanku agar tidak pergi.
Melihat matanya yang tulus itu, aku baru menyadari bahwa mama memang tulus mencintaiku.
"Nama kamu di panggil," temanku mencolek pundakku.