"Mas," kataku. Aku segera membalikan tubuhku, kutatap mata suamiku yang teduh itu. "Mas ridho sama aku?"
"Iya, mas ridho dengan ketetapan takdir yang Tuhan berikan untuk keluarga kita, untuk kamu dan aku."
"Mas." Masih kutatap mata suamiku. "Aku takut Ismail tidak menyayangiku."
"Ufi... Perjuanganmu sama hebatnya seperti Siti Hajar. Kasih sayangmu itu bagai Zamzam bagi Ismail," ucapnya, disudut matanya terlihat genangan air yang akan tumpah. Ia memelukku.
Air mataku pun tumpah, jatuh ke gurun pasir yang sudah tidak lagi gersang seperti dulu, tangisan pertama dari seorang ibu yang berjuang demi anaknya, air mataku menyusul sungai kasih sayang itu. Â
***
IBU belum terlihat dari pandanganku, aku sudah memutar bola mataku menyisir setiap sudut ruangan ini. Kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku, seharusnya ibu sudah tiba, membuatku semakin gelisah.
"Ismail." Temanku yang duduk disebelahku menepuk pundakku. "Mana ibu kamu?" Diucapakannya dengan bahasa isyarat. Aku penderita disabilitas, aku tidak bisa mendengar dan tentu saja tidak pandai berbicara.
"Belum datang," kataku sambil menggerak-gerakkan tanganku memberikan isyarat pada temanku. Lalu dia menunjuk ke arah jam yang melingkar di tangannya, bahasa isyarat bagiku yang berarti terlambat. Aku yakin ibu pasti sudah datang, hanya saja belum nampak dipandanganku.
"Ismail." Temanku yang duduk dibelakangku menepuk pundakku, aku menoleh, lalu dia menunjuk. Aku mengikuti arah jari temanku. Diujung jari itu kudapati wajah seorang wanita yang sedang tersenyum dengan bangga dan melambaikan tangannya padaku.
"Ibu..." Kubalas lambaian tangan itu, selain lambaian tangan, kedua jempolnya pun melayang-layang. Tandanya aku hebat, selalu begitu sejak aku kecil.