"Biar aku sendiri saja yang pergi ke tanah Jawa mencari Basri."
***
EMBUN, mereka adalah penari bisu yang memukau di pangkuan sang fajar, mewarisi malam dengan keanggunan yang tak terperikan. Dalam keheningan terpaan bulan, titisan-titisan kristal ini membentuk sebuah kerajaan kecil, memperlihatkan kemilau lembutnya sebagai perhiasan alam yang sempurna.
KAU membenamkan kepalamu pada bumi, di atas hamparan sajadah lusuh yang tak lagi berwarna. Isak tangis kau itu memecah tarian embun yang sedang turun dalam kedamaian. Apa yang kau tangisi? Basri? Anak satu-satunya yang kau lahirkan itu?
Tuhan pun akan marah kalau kau hanya duduk bersujud di sudut ruangan gubuk reyot yang dingin itu sambil menangis, karena Dia memberi kau kekuatan untuk berdiri, melangkah, dan mengubah nasib kau. Dia memberi kau akal untuk berpikir, tangan untuk berkarya, dan hati untuk mencintai. Jangan biarkan kesedihan memadamkan cahaya harapan dalam diri kau. Bangkitlah, berjuanglah, dan yakinkan Tuhan bahwa kau akan menggunakan karunia-Nya dengan baik, tidak hanya untuk diri kau sendiri, tetapi juga untuk membuat negeri ini menjadi tempat yang lebih baik.
Kau juga yang membiarkan anak tunggal kau itu berideologi Soviet, yang mengharamkan segala hal yang berbau kapitalisme. Namun, sekarang kau hendak membimbingnya melampaui batasan pemikiran tersebut melalui doa-doa kau dalam sujud? Ajarkan kepadanya bahwa dunia ini kompleks, dan tidak semua hal dapat diukur dengan satu sudut pandang. Hendaknya kau buka matanya lebar-lebar terhadap berbagai pandangan dan ideologi, agar anak kau itu dapat memahami keberagaman dunia ini. Itu yang harusnya kau katakan sejak dulu. Kini semua sudah terlambat.
***
"Uda hendak pergi Surau, Mar," teriakku dari pintu, kutengok Mar sedang bergegas menghampiri pintu yang harus dikuncinya dari dalam.
"Azan subuh masih jauh, Uda," ucapnya ketika menghampiriku di ujung pintu.
"Uda ingin bertanya dengan Buya Risman," jawabku. Mar hanya menatapku dengan berjuta tanya di dalam manik matanya yang telah lelah meneteskan air mata sejak embun menari-nari bersama rembulan. "Assalamualaikum."
Aku melangkah di antara rerumputan yang mendekap embun yang menjadikannya ranai. Sejujurnya aku tidak dapat menjawab pertanyaan Mar bila ia menanyakan tujuanku menemui Buya, pertanyaanku masih sama seperti pertanyaanku pada Zubair.