EMBUN, mereka lahir dari pelukan malam, mengemban rahasia bunga-bunga yang tidur terlelap. Setiap tetesan embun adalah kisah bisu dari malam yang berlalu, menangkap sinar rembulan dalam butir-butir kecil yang memantulkan keindahan tersembunyi. Seperti mutiara di leher alam, embun menjelma menjadi permata yang menari dalam gelapnya malam.
KAU pergi menjauh, mungkin saja kau merasa tak nyaman berada di gubuk reyot ini atau karena tanah kelahiran kau ini tak mampu mewujudkan mimpi kau yang menjulang tinggi itu, ditambah pula negeri ini baru saja lepas dari belenggu penjajahan, berpuluh-puluh tahun lamanya. Kau datang bersimpuh untuk meminta restu pergi ke tanah Jawa.
"Izinkan saya merantau, Ayah!" pinta kau saat itu. Suara kau pun masih terngiang, seperti baru kemarin rasanya. Hanya foto kau yang terpajang di dinding yang kusam itu.
Mungkin kau tak paham rasanya mengkhawatirkan seorang anak, suatu hari nanti kau akan mengerti. Itu pun kalau umur kau panjang, kau memilih berteman dengan api di tanah Jawa ketimbang bermain dengan sekam di tanah kelahiran kau.
"Saya ingin membangun negeri ini, Ayah!" Itu lah alasan yang kau ucap saat kau bersimpuh.
***
"Dah ada kabar dari Basri?" tanya Zubair sambil mengaduk kopi. Ia menatapku tanpa memedulikan kepulan asap dari air yang baru saja mendidih yang dituangnya ke dalam gelas. Politik di negeri ini pun sama panasnya dengan kopi yang diaduknya.
"Belum ada," jawabku sambil menyesap dalam-dalam gulungan kretek berkulit jagung yang bergelayut di sela-sela jariku.
"Tak perlu kau resah hati memikirkan Basri, dia anak yang cerdas, pandai bergaul, pastilah dia sedang mengejar mimpinya membangun negeri ini," ucap Zubair dihadapanku dengan segelas kopi yang disuguhkannya. Mungkin dia sudah pikun, rambutnya memang sudah putih semua, Basri sudah 6 bulan tidak mengirim surat, sebelumnya 3 atau 4 surat perminggu pastilah mendarat di gubuk reyot itu. Aku yang mengizinkannya pergi, tentulah aku risau.
"Eh, ada kawan kau di Jawa?" tanyaku serius, sorot tajam mataku memaku bola mata Zubair.