Kepiawaiannya merangkai kata, mengukir keajaiban di setiap sentuhan kalimatnya. Dalam ranah imajinasi fiksinya, dia membebaskan sayap kreativitas yang begitu memukau. terbitlah cerita-cerita yang menggoda lalu memikat hati pembaca, menciptakan dunia yang memesona yang tak terlupakan.
PRIBADINYA dipenuhi ketakutan untuk berinteraksi, bahkan di dunia maya yang tak langsung menyuguhkan wajah. Namun, saat pena menyentuh kertas, dia menjelma menjadi penyair imajinatif. Kenyamanannya hanya ditemukan di antara kata-kata yang membangkitkan dunia fiksi, di mana bakat luar biasanya merajut karakter hidup yang begitu memikat. Dalam labirin imajinasinya, dia tenggelam, melupakan realitas yang menyakitkan, dan melahirkan kisah-kisah yang menggetarkan jiwa.
Satu waktu, dia menerima surel dari penerbit terkemuka di Indonesia. Penerbit tersebut menyatakan ketertarikan terhadap novel yang telah dia kirimkan secara daring. Mereka berkeinginan untuk menerbitkan novelnya dan menawarkan kontrak yang menjanjikan. Radit awalnya tak percaya dengan berita yang dia baca. Bagi seorang penulis, ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Tanpa menunggu lama, dia segera membalas email tersebut dan menerima tawaran yang diberikan.
"Terima kasih atas kesempatan ini. Saya sangat bahagia dan merasa terhormat. Saya siap untuk bekerja sama dengan Anda," tulis Radit  dalam balasan surel itu dengan penuh sukacita.
Dengan menerima tawaran tersebut, dia juga dihadapkan pada ekspektasi publik, kritik, serta wawancara. Penerbit berharap agar dia mempromosikan novelnya melalui berbagai media, termasuk televisi, radio, podcast, juga media sosial. Mereka mengharapkan Radit hadir di acara peluncuran buku, sesi tanda tangan, dan festival literatur. Radit merasa sangat cemas, takut menghadapi semua itu. Dia tidak tahu bagaimana berbicara di depan banyak orang, apalagi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menyerang atau merendahkan karyanya. Baginya, sama saja seperti menghadapi kematian jika harus berhadapan dengan semua itu.
Dia mencoba untuk menolak permintaan penerbit itu, tetapi pihak penerbit tidak mengizinkannya. Mereka mengatakan bahwa ini adalah bagian dari kontrak yang sudah dia tandatangani. Mereka mengancam bahwa jika dia tidak memenuhi kewajibannya, mereka akan membatalkan kontraknya dan menarik novelnya dari pasaran. Radit merasa terjebak dan tidak punya pilihan.
"Maaf ya, aku ga bisa melakukan semua itu. Aku ga suka jadi pusat perhatian, sulit banget buat aku ketemu orang baru. Plus, aku ga tahan sama tekanan dan kritikan. Aku cuma pengen nulis aja, nggak pengen jadi selebriti gitu deh," kata Radit dengan keputusasaan.
"Radit. Kamu perlu ngerti bahwa ini emang bagian dari pekerjaan kamu sebagai penulis. Kamu harus bersedia kenalan sama publik dan karya kamu. Kamu juga harus siap nerima tanggapan dan saran dari pembaca. Ikut serta dalam kegiatan literatur juga penting, ini semua demi kebaikan kamu sendiri, loh. Ini bisa naikin popularitas dan penjualan novel kamu, membuka peluang dan jaringan baru. Selain itu, ini juga bisa bikin kamu jadi penulis yang lebih baik dan profesional," ucap Pak Reymon yang bekerja di penerbit itu.
"Emangnya gak ada opsi lain? Atau mungkin ada beberapa keringanan atau pengecualian untukku?" tanya Radit dengan rasa harap-harap cemas.
"Maaf, Radit. Ini adalah aturan yang berlaku untuk semua penulis yang bekerja sama dengan kami. Kami tidak bisa memberikan perlakuan khusus untukmu. Kami sudah memberikan kesempatan langka dan berharga. Kontrak yang kami tawarkan adil dan menguntungkan. Dukungan dan fasilitas yang kami berikan sudah memadai. Kami berharap kamu bisa memberikan kontribusi dan kerjasama yang sepadan. Semoga kamu bisa menghargai dan memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin," jawab Pak Reymon dengan nada dingin.