Di tanah Jawa itu lah pusatnya, mereka saling berjumpa, menyapa lalu mereka lupa. Ada yang lupa dengan anaknya, ada juga yang lupa dengan sanaknya, ada juga yang lupa dengan pasangan hidupnya, tapi ada yang lebih parah, kami tak mau itu terjadi, lupa dengan Tuhannya.
“Ilmu agama ambo, rasanya dah cukup untuk pergi merantau ke tanah Jawa, Ayah,” ucap Basri.
“Kami hanya indak mau melihat kau merana di tanah Jawa itu.”
“Mas Joko, suami uni Eti memberikan ambo pekerjaan di tanah Jawa, di sebuah surat kabar, ambo dimintanya untuk jadi penulis kolom opini.”
“Kami memang miskin, pantang bagi kami menggadaikan adat, apa lagi agama.”
“Petuah ayah selalu ambo pegang.”
“Besok pagi pergilah kau ke Kota Padang, setelah tiba langsung kau bertolak menuju pelabuhan Teluk Bayur, belilah tiket langsung ke Jawa, ini … ada sedikit untuk bekal kau di sana.”
***
KAU menatap ayahmu yang sudah tua renta dengan penuh haru, rasa bahagia terpancar dari bola mata kau yang berpendar seperti baru saja mendapat lotre.
Kau masih saja memilih Isnin, meskipun kau tidak menyukainya, kau pilih kemeja dengan dasi ketimbang kaus kutang dengan sarung. Asal kau tahu Isnin itu sangat di senangi oleh Sutan Imam, pengurus surau itu, wajahnya selalu berseri-seri bila mendengar kata Isnin, begitu pula Datuk Parpatih nan Sabatang, belum lagi tiba Isnin tapi dah tersenyum ketika lepas Isya.
Sementara kau, jauh lagi Isnin tiba, raut kau seperti badai, hitam legam, berkecamuk antara petir dan awan-awan yang menggulung di antara hujan, semakin malam semakin kusam wajah kau, tambah lagi ayam berkokok, bersungut-sungut kau dibuatnya.