“Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah.” Kalimat yang ia dengar dari seorang motivator di sebuah penggalan video di media sosial ketika ia sedang menghabiskan senja yang tidak pernah ramah kepadanya.
Radit, seorang anak laki-laki yang selalu diabaikan oleh ibunya, padahal dia adalah seorang siswa yang berprestasi, baik dalam bidang akademik maupun non-akademik. Ia sering mendapat pujian dan penghargaan dari guru-gurunya, teman-temannya dan juga sebuah komunitas yang sedang ia gandrungi saat itu. Namun, ibunya tidak pernah membanggakannya. Ia bahkan tidak pernah datang ke acara sekolah anaknya, seperti lomba, pentas, bahkan wisuda kelulusan Radit.
Ibunya telah berpindah hati, ia merasa pernikahan dengan ayahnya Radit adalah sebuah kegagalan, ia merasa tidak bahagia hidup bersamanya, hanya ada tangisan ketika menjalin hidup bersamanya hingga akhirnya maut memisahkan mereka berdua.
Ibunya telah memilih untuk menikah dengan laki-laki lain, yang usianya lebih pantas disebut kakek, ia seorang pengusaha kaya, laki-laki itu sangat sombong juga sangat kasar. Ia tidak menyukai Radit, ia sering mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan di balik punggung ibunya.
Radit merasa tidak bahagia, tidak seperti anak-anak seusianya yang sedang menikmati gejolak perubahan hormon. Ia merasa tidak ada yang mencintainya dan juga menghargainya. Ia sering menangis di kamar, berdoa agar ibunya bisa berubah dan kembali mencintainya. Ia juga berharap agar bisa memiliki ayah yang baik dan juga sayang padanya.
***
Siang itu seragam putih abu-abunya terlihat lusuh, kumal, nampak seperti belum di cuci berhari-hari, ia berjalan pulang di bawah siraman teriknya matahari, tanpa sengaja, ia melihat ibunya dengan laki-laki bejat itu sedang berpelukan di depan rumah, ibu di jadikan istri simpanannya. Ia mendengar ibunya berkata, “Sayang, aku senang banget kamu beliin aku rumah baru. Aku udah enggak sabar ngejalanin hidup bahagia sama kamu, Mas.” Ibunya menatap mesra laki-laki bejat itu. “Radit enggak akan ganggu kita lagi,” lanjutnya sambil tertawa.
Radit tercengang mendengar ucapan ibunya, ia merasa sangat sakit hati, ia marah, ia sadar ternyata ibunya tidak pernah mencintainya, ia ingin meninggalkannya, ia juga sadar ternyata laki-laki bejat itu tidak pernah menganggapnya sebagai keluarga, ia merasa sendirian, tidak punya siapa-siapa di dunia ini.
Radit segera berlari menghampiri ibunya sambil berteriak, “Ibu … Ibu ngomong apa barusan? Apa ibu enggak sayang sama aku? Apa ibu enggak bangga sama aku? Apa ibu enggak peduli sama aku?”
Ibunya dan laki-laki bejat itu sontak terkejut ketika medengar suara lantang yang keluar dari mulut Radit. Ibunya mencoba menenangkannya, sambil berkata, “Radit, dengar … ibu enggak bermaksud menyakiti kamu. Ibu hanya ingin kamu bahagia. Aku tahu kamu anak yang pintar, baik. Ibu yakin kamu bisa mandiri dan sukses. Ibu hanya ingin kamu mengerti, Ibu juga punya hak untuk mencari kebahagiaan untuk ibu sendiri. Ibu mencintaimu, Radit, tapi ibu juga mencintai dia. Ibu harap kamu bisa menerima keputusan ibu.”
Laki-laki bejat itu pun ikutan berbicara, “Radit, jangan marah dulu. Saya tidak bermaksud menyinggung kamu. Saya mengakui kamu itu anak yang hebat, tapi saya juga punya tanggung jawab untuk anak saya sendiri. Saya tidak memilih kamu karena saya lebih mencintai anak saya, tentu saja saya ingin memberikan yang terbaik untuk anak kandung saya, kan. Saya harap kamu bisa menghormati pilihan saya. Dan ibu kamu memang lebih cinta sama saya dari pada kamu.”
Radit tidak mau mendengar omong kosong dari mereka berdua. Ia merasa dibohongi, dikhianati, tidak ada yang tulus mencintai dan menyayangi dirinya.
“Kalian berdua … Kalian orang-orang yang paling kejam di dunia. Kalian berdua enggak pantes jadi orang tua. Kalian berdua enggak pernah cinta dan menyayangi aku. Kalian berdua hanya mikirin diri kalian sendiri. Kalian egois. Kalian berdua enggak layak bahagia. Aku benci kalian berdua. Aku enggak mau tinggal sama kalian berdua.”
Radit membuang wajahnya lalu berlari menjauh dari rumah itu, ia tidak tahu kemana ia akan pergi, dan apa yang akan ia lakukan. Ia hanya tahu, bahwa ia tidak mau melihat wajah mereka lagi. Ia hanya tahu, bahwa ia harus mencari kehidupan yang baru, yang lebih baik, yang lebih bahagia. Ia hanya tahu, bahwa ia harus mencari cinta yang sebenarnya. Ia hanya tahu, bahwa ia harus mencari dirinya sendiri.
Radit terus berlari tanpa arah, tanpa tujuan. Ia hanya ingin menjauh dari rumah yang tidak lagi menjadi rumah baginya. Ia hanya ingin melupakan ibu yang tidak lagi menjadi ibu baginya. Ia hanya ingin menghapus luka yang tidak bisa sembuh di hatinya.
Radit tidak tahu berapa lama ia berlari, dan berapa jauh ia pergi. Ia hanya tahu, bahwa ia sudah berada di tempat yang sangat asing, mungkin saja tempat itu sangat berbahaya baginya. Ia melihat banyak orang-orang yang menatapnya dengan tatapan sinis. Ia mendengar suara-suara yang keras dan menakutkan. Ia merasakan pandangan dari bola mata yang mengintai dan mengancam.
Radit merasa takut dan juga bingung. Ia tidak tahu harus kemana? Harus berbuat apa? Ia tidak punya uang, tidak punya teman, tidak punya keluarga. Ia sendirian dan terlantar. Ia tidak punya harapan, tidak ada masa depan.
Radit lalu mencari tempat yang aman. Ia menemukan sebuah taman yang hijau dan teduh, matahari sudah semakin jauh, gelap semakin merayap. Ia melihat sebuah bangku yang kosong dan nyaman di sudut taman. Ia duduk di bangku itu, lalu menundukkan kepalanya. Ia menumpahkan kekesalannya, kesedihannya dengan deraian air mata yang pilu.
“Tuhan, kenapa aku harus menderita seperti ini? Kenapa, Engkau enggak kasih aku ibu yang baik dan sayang sama aku? Kenapa, Engkau enggak kasih aku keluarga yang hangat? Kenapa, Engkau enggak kasih aku kehidupan yang indah? Apa salahku, Tuhan? Apa dosa aku, Tuhan? Hapus aku dari dunia yang tidak adil ini, Tuhan?” teriaknya dengan suara parau sambil menengadah ke atas langit.
Ia hanya mendapati keheningan dari bulan dan bintang di langit, ia berfikir, Tuhan juga mungkin tidak peduli padanya.
Radit lalu berhenti menangis, ia merasa tidak ada gunanya menangis.
Radit lalu tertidur di bangku itu, ia merasa lelah setelah seharian tadi, ia tertidur dengan matanya yang basah dan hatinya yang hancur.
***
Dalam lelapnya ia bermimpi, dulu ibunya selalu tersenyum, memeluknya, menasehatinya. Ia bermimpi tentang ayahnya, yang dulu selalu bermain dan bercanda gurau dengannya. Ia bermimpi tentang dirinya, dirinya yang merasakan kebahagiaan yang sangat dalam.
Radit terbuai dengan mimpi itu, ia tidak ingin terbangun dari mimpi indah itu. Ia memilih untuk tetap bermimpi, perlahan tubuhnya membiru, nafasnya pun terhenti.
Radit pergi, dengan sejuta pertanyaan yang tidak terjawab, dengan sejuta harapan yang tidak terwujud, dengan sejuta cinta yang tidak terbalas.
Radit pergi, tanpa ada yang tahu, tanpa ada yang peduli, tanpa ada yang menyesal.
Radit pergi, tanpa ada yang mengubur, tanpa ada yang mendoakan, tanpa ada yang mengenang.
Radit pergi, tanpa ada yang mencintai, tanpa ada yang menghargai, tanpa ada yang membutuhkan.
Radit pergi, tanpa ada yang menangisi, tanpa ada yang merindukan, tanpa ada yang menyayangi.
Radit pergi, tanpa ada yang menyadari, tanpa ada yang mengerti, tanpa ada yang menyelamatkan.
Radit pergi, tanpa ada yang memaafkan, tanpa ada yang mengampuni, tanpa ada yang mengasihani.
Radit pergi, tanpa ada yang memeluk, tanpa ada yang mencium, tanpa ada yang mengucapkan selamat tinggal.
Radit pergi, tanpa ada yang bersama, tanpa ada yang menemani, tanpa ada yang menanti.
Radit pergi, tanpa ada yang berduka, tanpa ada yang berbahagia, tanpa ada yang berarti.
Radit pergi, ia mengakhiri kisah hidupnya.
Radit pergi, ia meninggalkan sekelumit kisah tentang kemarin.
-Tamat-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H