Aku terkejut mendengar pengakuannya. Aku merasa tertipu, aku sangat marah. Aku bertanya padanya, "Mengapa kamu melakukan ini? Siapa kamu sebenarnya? Apa motifmu?"
Dia menjawab dengan tenang, "Aku adalah Zara, seorang mata-mata yang bekerja untuk pemberontak yang ingin menggulingkan sultan. Aku membenci sultan karena dia adalah seorang tiran yang menindas rakyatnya. Aku ingin membalas dendam atas semua kesengsaraan yang telah dia lakukan. Aku menggunakanmu sebagai alat untuk mencapai tujuanku. Aku tidak peduli dengan permata itu, atau dengan hidupmu."
Aku tidak percaya dengan apa yang dia katakan. Aku merasa bodoh, aku sangat kecewa. Aku berkata, "Kamu adalah seorang pengkhianat dan juga pembunuh! Kamu tidak punya hati dan nurani! Kamu tidak pantas hidup!"
Aku berusaha melempar permata itu ke arahnya, tapi sudah terlambat. Permata itu mulai berkedip-kedip, yang menandakan bahwa permata itu akan meledak dalam hitungan detik. Aku tidak punya waktu untuk melarikan diri atau menyelamatkan diri.
Aku hanya bisa memeluk permata itu erat-erat, dan berharap bahwa aku akan mati dengan cepat dan tanpa rasa sakit.
Aku menutup mataku, dan menunggu ledakan yang akan mengakhiri hidupku.
-Tamat-
Iqbal Muchtar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H