Aku tidak pernah bisa melupakan malam itu. Malam ketika suamiku, yang merupakan seorang guru juga seorang aktivis, ditangkap oleh petugas, dibawa ke tempat yang tidak pernah aku ketahui, tidak pernah ada kabar lagi darinya, yang aku tahu, dia adalah salah satu dari ratusan ribu orang yang menjadi korban pembunuhan massal yang terjadi pada tahun 1965-1966.
“Jangan khawatir, Sulastri. Aku pasti akan kembali. Aku tidak bersalah. Aku hanya berjuang untuk kebenaran dan juga keadilan,” kata suamiku sambil mencium keningku sebelum dia dibawa pergi.
“Widji… Widji… jangan tinggalkan aku… jangan tinggalkan anakmu…” teriakku sambil menangis, aku berusaha mengejarnya sambil menggendong Sartono yang baru berusia tiga belas bulan, tubuhku dihadang oleh puluhan petugas.
“Tutup mulutmu! Kamu sama suamimu harusnya mati!” bentak salah satu petugas menghardikku sambil menendang pintu rumahku.
Sejak itu, senja tidak lagi indah, kicauan burung pun tidak mampu mengusir kepedihan yang aku rasakan. Aku harus menghidupi diriku juga anakku sendiri dengan bekerja sebagai penjahit dan berjualan di pasar. Stigma juga diskriminasi dari masyarakat yang menganggap aku dan keluargaku sebagai komunis, pengkhianat, dan anti-agama. Aku tidak punya teman, tidak punya hak, tidak punya harapan.
“Anakmu itu tidak boleh sekolah di sini. Dia membawa ajaran sesat dari ayahnya yang komunis,” bentak ibu kepala sekolah.
“Tapi bu, dia anak yang baik. Dia rajin belajar dan berprestasi. Dia tidak pernah membuat masalah,” bantahku.
“Masalahnya itu darahnya. Darahnya tercemar oleh ideologi jahat yang membahayakan negara ini. Kami tidak mau ada anak seperti itu di sekolah kami. Kami tidak mau ada ibu seperti kamu di lingkungan kami. Kamu harus pindah dari sini!” ujar ibu kepala sekolah dengan tegas.
Sumiati terpaksa harus berhenti sekolah, ia baru kelas 4 SD, anakku yang paling besar terpaksa harus menelan pahitnya perjalanan hidup, ia berhenti sekolah dan membantuku berjualan di pasar.
Aku selalu hidup dalam ketakutan serta kesedihan. Aku selalu bermimpi buruk tentang malam itu. Aku selalu merindukan suamiku. Aku selalu bertanya-tanya apa yang terjadi padanya. Apakah dia masih hidup? Apakah dia disiksa? Apakah dia dibunuh? Apakah dia dikubur? Apakah dia mendapat penghormatan?