Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Selamat Ulang Tahun, Nak

22 Oktober 2023   14:47 Diperbarui: 22 Oktober 2023   14:53 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar di olah menggunakan Canva

Hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-15. Aku bangun dari tidur dengan perasaan gembira dan penuh dengan semangat. Aku segera berlari ke ruang tamu, di mana ayahku sudah menungguku dengan senyumannya yang lebar. Dia memelukku erat sambil berkata, "Selamat ulang tahun, sayang. Aku sangat mencintaimu."

Aku merasa bahagia dan bersyukur memiliki ayah yang baik, penyayang dan perhatian. Aku membalas pelukannya. "Terima kasih, ayah. Aku sangat mencintai ayah juga," kataku sambil mendekapnya erat.

Ayahku memberiku sebuah kotak kecil yang dibungkus dengan kertas warna-warni, aku sempat kecewa, karena biasanya ayah memberikanku bungkusan besar yang berisi boneka atau mainan kesukaanku, tapi kali ini aku menerima sebuah bungkusan yang kecil, tapi aku yakin ayah pasti memberikan hadiah terbaik untukku.

Aku membuka bungkusan itu dengan sangat hati-hati, perlahan-lahan kusobek sudut yang membungkus kotak ini, setelah semua kertas yang menempel pada kotak kecil ini lepas, aku membukanya dan aku terkejut melihat sebuah benda berkilauan yang ada di dalamnya. Sebuah kalung emas dengan liontin berbentuk hati. Di dalam liontin itu, ada foto aku dan ibuku yang sedang tersenyum bahagia.

Aku hampir saja aku tidak percaya dengan apa yang baru saja kulihat, hampir semua foto ibuku sudah kulihat semuanya, namun yang satu ini terlihat sangat berbeda, ibu terlihat sangat cantik. Aku menatap foto itu dengan mata berkaca-kaca, jauh di dalam hatiku terbesit perasaan bingung, aku tidak tahu rasanya rindu terhadap ibu.

Aku ingin mengetahui lebih banyak tentang ibuku, ayah tidak banyak bercerita tentang ibu entah mengapa, seperti dirahasiakan oleh ayahku. Aku bertanya padanya, "Ayah, ini hadiah dari siapa? Ini foto aku dan ibu, kan?"

Ayahku menarik napasnya dalam-dalam, lalu duduk di sofa. Dia memandangiku dengan tatapan yang sangat serius, sorot mata ayah nampak sedih. "Itu ... hadiah dari ibumu, sayang. Dia meninggalkan kalung ini untukmu sebelum dia pergi. Dia ingin kamu memakainya saat kamu berulang tahun yang ke-15," jawabnya, terlihat buliran kesedihan di sudut matanya.

Aku bertanya lagi, "Tapi ... kenapa ayah tidak pernah cerita tentang ibu?" ucapku, segera menghampiri ayah yang sedang duduk di sofa dengan tatapan sedih, "Siapa sebenarnya ibu? Apa yang terjadi padanya, Ayah?" lanjutku dengan pertanyaan-pertanyaan yang selalu menghantuiku sejak dulu.

Ayah menghela napasnya lagi, lalu berkata, "Ini adalah saat yang tepat untuk memberitahumu sebuah kebenaran. Ayah tidak bermaksud menyembunyikan apapun darimu, ayah hanya ingin melindungimu dari perasaan sedih seperti yang ayah rasakan. Tapi sekarang kamu sudah besar, dan kamu berhak tahu tentang ibumu."

Ayah mulai bercerita tentang ibuku, tentang bagaimana mereka bertemu, jatuh cinta lalu menikah, kemudian memiliki aku. Ayah bercerita tentang ibu dengan penuh cinta, tiap kata yang meuncur dari mulut ayah adalah kata-kata kebanggaan terhadap ibu, kata yang terangkai menjadi kalimat yang menggambarkan tentang betapa cantik, pintar, baik, dan hebatnya ibu.

Aku mendengarkan cerita ayahku dengan penuh perhatian dan antusiasme. Aku merasa seolah-olah aku mengenal ibuku secara langsung, seolah-olah dia ada di sini bersamaku. Aku tertawa saat mendengar kisah lucu tentang ibuku, aku terharu saat mendengar kisah romantis tentang ibuku, aku kagum saat mendengar kisah inspiratif tentang ibuku.

Ayahku kemudian bercerita tentang hal yang paling menyakitkan dalam hidupnya, kematian ibu. Dia bilang, "Ibumu meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil saat kamu baru berusia enam bulan. Hari itu adalah hari terburuk dalam hidup ayah -- Dunia berhenti berputar saat itu, ayah kehilangan arah dan tujuan, ayah telah kehilangan belahan jiwa yang selalu mengisi kekosongan jiwa ayah, tapi ... ayah berusaha tegar demi kamu. Ibumu adalah cinta sejati bagi ayah, dan ayah tidak akan pernah melupakannya." Genangan air mata itu kini meluncur membanjiri pipinya yang ditumbuhi jengot tipis.

Air mataku berlinang saat mendengar cerita ayahku. Aku merasa sedih dan kasihan padanya. Aku juga merasa bersalah karena aku bertanya tentang ibu yang selama ini tidak pernah aku dengar langsung dari mulut ayah. Aku memeluk ayahku erat, sangat erat. "Maafkan aku, ayah. Aku ... aku benar-benar tidak tahu, ayah amat menderita setelah kehilangan ibu," ucapku sambil menatap ayah, "Terima kasih sudah menceritakan semuanya padaku. Aku mencintai ayah dan juga ibu, meskipun aku belum pernah merasakan belaian tangannya."

Ayah membalas pelukanku, dengan lembut mengusap air mataku. Dia berkata, "Jangan nangis, sayang. Ayah juga minta maaf karena ayah tidak pernah bercerita tentang ibu, maafin ayah, Nak," Tangis kami berdua pecah saat ini. "Aku mencintaimu, Nak, sangat mencintaimu. Kamu adalah anugerah terbesar dalam hidup ayah, kamu adalah bukti cinta antara ayah dan ibumu. Kalung itu adalah hadiah terakhir dari ibumu untukmu. Ibumu ingin kamu selalu ingat padanya, dan selalu tersenyum bahagia."

Aku memandang kalung itu dengan senyum lembut. Aku memakainya di leherku, dan merasakan hangatnya cinta dari ibuku. Aku berkata pada ayahku, "Aku akan selalu menyimpan kalung ini sebagai kenangan paling berharga dalam hidupku. Aku akan selalu menghormati dan menghargai ibu, dan selalu berusaha menjadi anak yang baik dan sukses."

Ayahku tersenyum bangga dan bahagia. Dia berkata, "Kamu sudah menjadi anak yang baik dan sukses. Kamu sangat mirip dengan ibumu, mata, hidung, juga sifatmu. Kamu adalah warisan terindah dari ibumu. Kamu adalah harapan terbesarnya, ia ingin kamu melanjutkan sesuatu."

"Apa." Keningku berkerit, aku bingung.

"Ayo ikut ayah," kata ayah sambil berdiri dari sofa mengajakku ke ruang kerjanya, aku ikut berdiri mengikuti langkahnya, ia membuka laptopnya, ia terlihat mengetik sesuatu.

"Ayah ..." ucapku, sambil menatap ayah yang sedang menunggu sesuatu muncul dari layar laptopnya.

"Sini, ayo sini," ajak ayah sambil melambaikan tangannya.

Aku beranjak dari depan pintu ruang kerjanya dengan langkah pasti menghampirinya. "Ayah, ini apa?"

"Ibumu senang menulis, semua tentang kamu ia tulis dalam sebuah blog," ujarnya senang sekali.

"Ini semua tulisan ibu?" tanyaku.

"Iya ... kamu adalah inspirasi untuknya menulis, semua harapan-harapannya, semua yang ingin ia sampaikan ada di dalam tulisannya." Ayah menatapku bangga.

"Ibu ..." Air mataku kembali tumpah, ketika melihat sebuah foto diriku yang baru saja lahir, dengan tulisan 'Buah Hatiku, Buah Cintaku' di halaman blog miliknya.

"Ia ingin kamu meneruskan mimpinya," kata ayah sambil merangkulku, "Ia ingin kamu menulis, kamu memiliki bakat yang sama dengan ibumu, lanjutkan halaman blog ibu, buat ia tersenyum kepadamu."

"Pasti ... pasti ayah."

"Ayah ingin kamu terus menulis, seperti ibumu, kamu adalah penulis yang hebat, ayah yakin kamu dapat mewarisi bakat ibumu ... menulis di kompasiana."

Aku merasa senang dan bangga mendengar pujian ayahku. Aku merasa dekat dan terhubung dengan ibuku. Aku merasa beruntung dan bersyukur memiliki orang tua yang luar biasa. Aku merasa ini adalah hari ulang tahunku yang paling spesial dan berarti. Aku merasa ini adalah hadiah terbaik yang pernah kudapatkan.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun