Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Selamat Ulang Tahun, Nak

22 Oktober 2023   14:47 Diperbarui: 22 Oktober 2023   14:53 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar di olah menggunakan Canva

Aku mendengarkan cerita ayahku dengan penuh perhatian dan antusiasme. Aku merasa seolah-olah aku mengenal ibuku secara langsung, seolah-olah dia ada di sini bersamaku. Aku tertawa saat mendengar kisah lucu tentang ibuku, aku terharu saat mendengar kisah romantis tentang ibuku, aku kagum saat mendengar kisah inspiratif tentang ibuku.

Ayahku kemudian bercerita tentang hal yang paling menyakitkan dalam hidupnya, kematian ibu. Dia bilang, "Ibumu meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil saat kamu baru berusia enam bulan. Hari itu adalah hari terburuk dalam hidup ayah -- Dunia berhenti berputar saat itu, ayah kehilangan arah dan tujuan, ayah telah kehilangan belahan jiwa yang selalu mengisi kekosongan jiwa ayah, tapi ... ayah berusaha tegar demi kamu. Ibumu adalah cinta sejati bagi ayah, dan ayah tidak akan pernah melupakannya." Genangan air mata itu kini meluncur membanjiri pipinya yang ditumbuhi jengot tipis.

Air mataku berlinang saat mendengar cerita ayahku. Aku merasa sedih dan kasihan padanya. Aku juga merasa bersalah karena aku bertanya tentang ibu yang selama ini tidak pernah aku dengar langsung dari mulut ayah. Aku memeluk ayahku erat, sangat erat. "Maafkan aku, ayah. Aku ... aku benar-benar tidak tahu, ayah amat menderita setelah kehilangan ibu," ucapku sambil menatap ayah, "Terima kasih sudah menceritakan semuanya padaku. Aku mencintai ayah dan juga ibu, meskipun aku belum pernah merasakan belaian tangannya."

Ayah membalas pelukanku, dengan lembut mengusap air mataku. Dia berkata, "Jangan nangis, sayang. Ayah juga minta maaf karena ayah tidak pernah bercerita tentang ibu, maafin ayah, Nak," Tangis kami berdua pecah saat ini. "Aku mencintaimu, Nak, sangat mencintaimu. Kamu adalah anugerah terbesar dalam hidup ayah, kamu adalah bukti cinta antara ayah dan ibumu. Kalung itu adalah hadiah terakhir dari ibumu untukmu. Ibumu ingin kamu selalu ingat padanya, dan selalu tersenyum bahagia."

Aku memandang kalung itu dengan senyum lembut. Aku memakainya di leherku, dan merasakan hangatnya cinta dari ibuku. Aku berkata pada ayahku, "Aku akan selalu menyimpan kalung ini sebagai kenangan paling berharga dalam hidupku. Aku akan selalu menghormati dan menghargai ibu, dan selalu berusaha menjadi anak yang baik dan sukses."

Ayahku tersenyum bangga dan bahagia. Dia berkata, "Kamu sudah menjadi anak yang baik dan sukses. Kamu sangat mirip dengan ibumu, mata, hidung, juga sifatmu. Kamu adalah warisan terindah dari ibumu. Kamu adalah harapan terbesarnya, ia ingin kamu melanjutkan sesuatu."

"Apa." Keningku berkerit, aku bingung.

"Ayo ikut ayah," kata ayah sambil berdiri dari sofa mengajakku ke ruang kerjanya, aku ikut berdiri mengikuti langkahnya, ia membuka laptopnya, ia terlihat mengetik sesuatu.

"Ayah ..." ucapku, sambil menatap ayah yang sedang menunggu sesuatu muncul dari layar laptopnya.

"Sini, ayo sini," ajak ayah sambil melambaikan tangannya.

Aku beranjak dari depan pintu ruang kerjanya dengan langkah pasti menghampirinya. "Ayah, ini apa?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun