Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Secercah Mimpi di Tepi Barat

15 Oktober 2023   08:19 Diperbarui: 15 Oktober 2023   08:19 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku memakai baju dan celana yang sudah lusuh, tapi masih bersih, hanya itu yang aku miliki. Aku mengambil tas yang berisi buku-buku dan alat tulis. Aku juga membawa bekal makan siang yang baru saja selesai dibuat oleh istriku dengan penuh kasih sayang. Aku berpamitan kepada istriku, aku mencium Hasan, aku akan kembali secepatnya atas izin Allah.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Aku mengucapakan salam di bibir pintu rumahku.

“Wa 'alaikumus salam wa rahmatullahi wabarakatuh.” Maira mebalas salamku dengan tatapan cemas juga rindu yang mendalam, di balik sorot matanya yang sedang menggedong Hasan dalam dekapannya. Namun, ada satu titik cahaya di mata itu, ia yakin Allah akan menjagaku hari ini.

***

Aku berjalan kaki menuju sekolah yang berjarak lima belas kilo meter, tidak ada angkutan umum yang boleh melintas. Aku melewati jalan-jalan yang penuh dengan puing-puing dari rumah yang hancur, tembok-tembok beton, dan pos-pos penjagaan Israel. Aku berusaha untuk tidak menoleh ke kanan atau ke kiri, agar tidak menarik perhatian tentara Israel yang bersenjata lengkap. Aku berdoa sepanjang perjalanan agar aku bisa sampai ke sekolah dengan selamat.

Aku ingat suatu hari, ketika aku sedang berjalan menuju sekolah bersama murid-muridku, kami mendengar suara ledakan yang sangat keras. Kami melihat asap hitam membumbung tinggi di langit. Kami panik dan berlari mencari tempat perlindungan. Kami menemukan sebuah rumah kosong yang sudah hancur. Kami masuk ke dalamnya dan bersembunyi di balik reruntuhan.

Kami mendengar suara-suara teriakan dan tangisan dari luar. Kami takut sekali. Kami tidak tahu apa yang sedang terjadi. Kami tidak tahu apakah keluarga atau teman-teman kami baik-baik saja. Kami tidak tahu apakah kami akan bisa keluar dari sini hidup-hidup.

Dalam situasi seperti itu aku hanya bisa berdoa kepada Allah agar diberikan keselamatan dan pertolongan. Saat itu salah satu anggota Hamas melihatku sedang berlindung, ia menyelamatkanku dan muridku saat itu, kami berhasil keluar dari situasi pelik ditengah peperangan.

Aku tidak pernah tahu, apakah aku akan tiba disekolah dengan selamat atau aku akan terbaring bersama reruntuhan puing-puing, yang aku tahu, aku adalah seorang guru yang siap untuk mencerdaskan murid-muridku yang sudah siap untuk menantang dunia ini, menegakkan keadilan dan menyebarkan perdamaian keseluruh dunia.

***

Di sekolah, aku disambut oleh murid-muridku yang sudah menungguku di depan pintu kelas. Mereka mengucapkan salam dan memelukku dengan hangat, mereka tahu, perjalanan yang kutempuh untuk sampai di sekolah memang tidak mudah. Mereka adalah anak-anak yang ceria, pintar, juga berbakat. Mereka adalah alasan utama aku menjadi guru. Aku ingin memberikan mereka pendidikan yang terbaik, agar mereka bisa memiliki masa depan yang cerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun