Ia berteriak kepada nelayan yang menunggunya di perahu kecil itu untuk membantunya menarik wanita itu ke perahu. Nelayan itu menuruti permintaannya, dan membantu menarik wanita itu ke perahu. Ia kemudian memberikan pertolongan pertama kepada wanita itu, sambil berdoa agar ia sadar.
Setelah beberapa menit, wanita itu mulai batuk-batuk dan membuka matanya. Ia melihat seorang anak laki-laki yang memeluknya erat, sambil menangis dan tersenyum.
"Kakak! Kakak Ateefa! Aku menemukanmu! Aku adikmu, Ali!" kata anak laki-laki itu merasa bahagia.
Aku tidak bisa percaya dengan apa yang aku lihat. Aku mengenali wajah anak laki-laki itu, wajah yang sangat mirip dengan ayahku. Perlahan-lahan aku mulai sadar, anak laki-laki itu adalah adiknya, yang aku kira sudah mati.
Aku membalas pelukan anak laki-laki itu, sambil menangis dan tertawa.
"Imran...! Imran... Alhamdulilah ... Aku tidak percaya ini! Aku kira aku sudah kehilanganmu, Imran!" teriakku dengan haru.
Kami berdua saling berpelukan satu sama lain, sambil mengucap syukur kepada Tuhan. Kami tidak peduli dengan kapal yang terbakar, atau kapal pemberontak yang mungkin masih mengintai. kami hanya peduli dengan satu sama lain, dan rasa cinta yang tidak pernah pudar.
Kami akhirnya bersatu kembali, setelah sekian lama terpisah oleh perang. kami masih memiliki harapan untuk hidup bahagia bersama, di tempat yang aman dan damai.
-Tamat-
Iqbal muchtar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H