Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ateefa, di Tanah Pengungsian

8 Oktober 2023   15:55 Diperbarui: 8 Oktober 2023   22:30 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar oleh Ahmed dari pexel.com

Aku menatap langit yang gelap, berharap ada bintang atau mungkin bulan yang bersinar indah yang bisa kulihat. Tapi yang ada hanya asap dan debu dari ledakan-ledakan yang terus menerus mengguncang kota Damaskus. Aku merasakan air mata mengalir di pipiku yang berdebu, mengingat keluargku yang terpisah saat mereka mencoba melarikan diri dari rumah kami yang hancur lebur karena ledakan.

Ayahku tertembak oleh tentara pemberontak, ibuku tertangkap oleh pasukan pemerintah, dan adikku hilang entah kemana. Aku berlari bersama tetanggaku, seorang wanita tua yang baik hati, menuju perbatasan Suriah. Kami berharap bisa menyeberang ke Turki, negara tetangga yang aman, tapi ternyata tidak semudah itu.

Kami harus menunggu berhari-hari di sebuah kamp pengungsian yang penuh, sesak juga kotor, tanpa makanan serta air bersih yang cukup, kehidupanku masih belum tenang di tempat pengungsian ini, aku harus berhati-hati dari ancaman para penyelundup manusia yang memanfaatkan kondisi seperti saat ini untuk menjual para pengungsi ke negara lain. Aku sering mendengar cerita tentang orang-orang yang dibawa ke negara-negara lain, mereka tidak pernah ada kabar setelah pergi, mereka pun tak pernah kembali. Aku takut sekali, tapi aku berusaha kuat demi seorang tetanggaku yang sudah seperti nenek bagiku, satu-satunya orang yang aku kenal yang berada di sisiku.

***

Suatu hari, seorang pria berjas hitam datang ke kamp pengungsian. Ia mengaku bekerja di sebuah lembaga kemanusiaan internasional, kedatangannya menawarkan bantuan kepada para pengungsi. Ia bilang ia bisa membawa mereka ke Eropa, negara yang lebih baik, dengan syarat mereka harus membayar sejumlah uang. Aku tidak percaya pada pria itu, tapi tetanggaku tergiur dengan janjinya.

"Kita harus pergi dari sini, Ateefa. Kita tidak punya masa depan di sini. Mungkin kita bisa menemukan adikmu di sana," kata tetanggaku dengan sedikit membujuk memberiku harapan.

"Aku tidak yakin, apakah mungkin adikku masih hidup. Nek!" Air mataku kembali menetes ketika mengatakannya.

Nenek Fatima terus saja membujukku agar aku pergi dari sini, aku harus melanjutkan hidupku katanya.

Aku ragu, tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku hanya punya sedikit uang hasil dari penjualan perhiasanku sebelum perang saudara terjadi, juga ada sedikit tersisa dari penjualan perhiasan ibuku yang dititipkan ibuku, dengan terpaksa aku memberikannya kepada pria itu. Pria itu tersenyum licik, dan meminta mereka untuk mengikuti dia ke sebuah kapal besar yang sedang sandar di dekat pantai.

Aku dan nenek Fatima naik ke kapal bersama ratusan orang lainnya. Kami duduk berdesakan di dalam ruang sempit yang gelap danpengap. Pria itu menutup pintu kapal dengan keras, dan berkata dengan suara dingin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun