"Radit, aku mencintaimu. Aku tidak peduli apa kata orang-orang. Aku tidak peduli apa kata ayah dan ibuku. Aku hanya ingin bersamamu." Aku menggenggam tangan Radit, kudekap tangan yang kekar itu di dadaku.
"Aku juga mencintaimu, Nayla. Kamu adalah cahaya hidupku. Kamu adalah alasan untukku berjuang. Kamu adalah harapanku." Radit memelukku, aku merasakan degupan jantungnya seirama dengan denyut cintaku.
"Lalu, mengapa kamu harus pergi? Mengapa kamu harus bergabung dengan gerakan perjuangan kemerdekaan? Apa yang akan terjadi jika kamu terluka atau mati?" Air mataku membasahi sergam hijaunya, segaram kebanggannya, aku tidak ingin ia pergi, aku ingin memeluknya selama-lamanya.
Radit melepas pelukkannya, "Nayla, aku harus pergi. Aku harus berjuang untuk tanah airku, untuk bangsaku, untuk kemerdekaanku. Aku tidak bisa tinggal diam melihat penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh Jepang dan Belanda. Aku tidak bisa menyerah pada takdir yang suram." katanya sambil menggenggam pundakku, ia berusaha meyakiniku.
Air mataku semakin deras, "Tapi, Radit, aku takut kehilanganmu. Aku takut, bagaimana kalau aku tidak akan pernah melihatmu lagi. Aku takut, bagaimana kalau aku tidak akan pernah mendengar suaramu lagi. Aku takut, bagaimana kalau aku tidak akan pernah merasakan ciumanmu lagi." Kuhempaskan tubuhku ke dalam pelukannya, aku tidak ingin berpisah darinya.
"Nayla, jangan takut. Aku akan selalu ada di hatimu. Aku akan selalu berdoa untukmu. Aku akan selalu mencintaimu. Dan aku berjanji, aku akan kembali, aku berjanji padamu aku pasti kembali." Radit mencium keningku, kupejamkan mataku, aku meresapi getaran cinta yang mengalir melalui kecupan di keningku.
"Radit, janjikan padaku. Janjikan padaku bahwa kamu akan kembali. Janjikan padaku bahwa kita akan bersama lagi." pintaku dalam pejaman mataku.
"Aku janji, Nayla. Aku janji... Aku akan memelukmu lagi." Radit memelukku sambil mengatakan itu.
"Radit ..." teriakku, aku bermimpi dengan mimpi yang sama.
***