Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Amaran

3 September 2023   20:55 Diperbarui: 4 September 2023   11:29 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar oleh John Mark Smith dari pexel.com

Aku pulang dari kantor dalam kondisi lelah dengan perasaan yang campur aduk antar kesal dan senang. Setiap langkah terasa lambat, kaki ini menolak untuk bergerak lebih cepat. Rasa lelah ini kurasakan di seluruh tubuhku, dari kepala hingga ujung kaki. Pikiranku juga terasa kacau, dengan tumpukan pekerjaan yang belum selesai yang masih menghantui pikiranku.

Saat langit mulai gelap dan lampu-lampu jalan mulai menyala, rasanya aku seperti ingin melepaskan diri dari rutinitas pekerjaan yang melelahkan. Tubuh terasa berat, otot-otot terasa kaku, dan pikiran terasa kusut setelah seharian fokus bekerja.

Aku membayangkan tiba di apartemenku, melepaskan semua beban dipikiran dan pundakku, biasanya aku memilih untuk merilekskan tubuhku dengan berendam air hangat selama berjam-jam atau hanya duduk merenung di teras dengan secangkir teh atau kopi hangat. Ini adalah waktu yang biasanya gunakan untuk memulihkan energi, mencuci semua lelah fisik dan mental, dan merayakan kenyataan bahwa pekerjaan hari ini telah selesai.

Sepertinya semua itu tidak terjadi hari ini. "Malam pak." sapa seorang satpam yang berjaga di pintu depan lobi apartemenku.

"Malam." jawabku sambil menempelkan kartu akses untuk membuka pintu.

"Permisi pak, ada surat untuk bapak." Ia menyodorkan sepucuk surat.

"Terima kasih." Kuambil surat itu sambil melirik pengirimnya.

***

"Ting." Pintu lift terbuka, aku bergegas menuju 1807, pintu apartemenku.

"Mama ... ." Teriak batinku ketika aku membuka surat itu bersamaan dengan terbukanya pintu 1807 itu. sebuah surat yang membuat langkah kaki terhenti di depan pintu 1807.

"Mama ... ." Batinku menahan air mata yang siap membanjiri pipiku yang penuh dengan debu kota metropolitan itu.

Surat itu dari adikku di kampung, aku memfasilitasi adikku dengan segala kemewahan, karena aku percayakan ia untuk merawat mama, tapi hari ini ia mengirim surat untukku, mengapa ia tidak telepon atau kirim pesan langsung kepadaku.

Aku segera merobek surat itu.

"Selamat Ulang Tahun, Nak!" Sebuah tulisan besar paling atas dari surat itu.

"Mama sengaja tidak menelepon atau mengirimkan pesan melalui sosial media, mama ingin menulis untukmu, agar tulisan ini menjadi pengingat untukmu, menjadi sebuah petunjuk untuk hidupmu." Mataku sudah mulai berkaca-kaca.

"Ingatlah selalu tuhanmu, bertambah usia berarti mengurangi jatah hidupmu di dunia, kesuksesan itu bukan hanya banyak harta, tapi kesuksesan itu adalah ketika pengetahuan yang kamu peroleh bisa bermanfaat untuk orang banyak" Aku memejamkan mataku, terbayang wajah mama dipelupuk mataku.

"Nak, jangan pernah menyakiti perasaan orang lain, karena menjadi pemaaf itu adalah sifat yang paling mulia" Kalimat itu selalu menjadi moto dalam pergaulanku sehari-hari.

"Sayangilah dirimu, jangan habiskan waktu dengan sia-sia, semoga dihari ulang tahunmu ini kamu mendapatkan keberkahan, dan juga manfaat dari umur panjang" sebuah kalimat penutup yang membuat mataku berkubang dengan keharuan.

"Terima kasih mama" ucapku sambil mencium surat itu.

Segera kuambil ponselku. "Hallo mama." sahutku ketika mama menjawab panggilan teleponku.

"Hallo, Nak." balasnya. "Selamat ulang tahun Radit ... ." lanjutnya

"Love you mama."  

Semua rasa lelah itu hilang seketika, bukan berendam air hangat, bukan merenung di teras dengan teh atau kopi hangat, namun cinta yang hangat dari mama yang mengisi baterai semangatku kembali penuh.

-Tamat-

Iqbal Muchtar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun