Langit hari ini sedang memancarkan aura nostalgia yang begitu kental. Suasana pagi dimulai dengan embusan angin lembut yang membawa aroma harum dedaunan yang basah, mengingatkan pada pagi-pagi di masa lalu yang penuh dengan keceriaan. Cahaya matahari yang lembut tersenyum padaku, sama seperti sinar matahari yang dulu pernah menyinari kenangan-kenangan manis saat aku bersamanya di jembatan ini.
Langit biru yang cerah, hampir serupa dengan warna langit pada hari-hari indah di masa itu. Mengingatkan pada langit saat pertemuan pertama, senyum-senyum malu terukir begitu jelas dalam ingatan. Aku merasakan getaran nostalgia ketika melihat awan putih yang membentuk pola-pola yang sama sekali tak terduga, seolah-olah menyiratkan pesan dari kenangan yang telah lama terpendam.
Aku berdiri di depan jembatan kayu tua yang menghubungkan desaku dengan desanya, setelah bertahun-tahun aku pergi dari desa tempat aku dibesarkan, kini aku kembali merajut kenangan dari jembatan ini. Jembatan yang menjadi saksi bisu dari berbagai kenangan indah bagiku dengan Nayla.
Aku tersenyum saat teringat waktu kami berdua duduk di atas jembatan ini, kaki kami menggantung di atas air yang mengalir deras di bawah. "Ingat saat kita pertama kali bertemu di sini, Nayla?" tanyaku, menyentuh papan kayu di sampingku.
Dia tertawa, "Tentu saja, Radit! Kamu mengenakan jas hujan saat itu, padahal cuaca cerah."
"Aku selalu melakukan hal-hal aneh dulu," jawabku sambil menggelengkan kepala.
Kami berbicara tentang masa lalu, tentang mimpi-mimpi kami, dan juga tentang rencana-rencana masa depan. Kami bermimpi tentang sebuah mimpi yang besar, berbicara tentang bagaimana suatu hari nanti kami akan menjelajahi dunia bersama. Kami menggambar tentang masa depan kami di pikiran dan imajinasi kami sambil duduk di atas jembatan itu.
Lalu, ada suatu hari yang tak terlupakan. Kami berdiri di ujung jembatan, menatap matahari terbenam yang mengepul di langit. Nayla berbicara dengan suara lembut, "Radit, kamu tahu..., aku menerima beasiswa di luar negeri, di universitas yang aku impikan. Aku akan pergi..., beberapa bulan lagi, Dit."
Aku terdiam sejenak, perasaan campur aduk menghampiri hatiku. "Aku sangat bangga padamu, Nayla. Tapi aku pasti akan sangat merindukanmu. Siapa yang akan aku ajak bicara di atas jembatan ini?"
Nayla tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Kita akan selalu berkomunikasi, meski pun jarak memisahkan kita. Dan ketika aku kembali, kita akan membicarakan lebih banyak tentang kenangan kita di sini."
Waktu berlalu begitu cepat, dan hari keberangkatan Nayla pun tiba. Kami berdiri di atas jembatan itu, memeluk erat satu sama lain. "Jangan lupakan aku, ya?" bisikku.
Dia mengusap air mata di pipinya, "Aku tidak akan pernah melupakanmu, Radit."
Nayla pergi untuk mengejar mimpinya, dan aku tetap di desa ini, menjalani kehidupan sehari-hari sambil selalu merindukannya. Setiap kali aku melewati jembatan ini, kenangan indah bersama Nayla terus menghinggapi pikiranku.
Ada kepedihan dalam kesepian, rindu akan kehadiran orang yang aku sayngi, sebuah tangan yang menggenggam erat, sebuah senyuman yang memberi kehangatan. Rasanya seperti mencari suara yang hilang dalam keramaian yang tak memberikan jawaban. Ketika malam tiba, bintang-bintang di langit serasa menjadi saksi bisu atas perasaan yang sulit diungkapkan.
Aku memutuskan untuk pergi dari desa ini, aku akan mengejar mimpiku, Saat aku melintasi perbatasan desa, pandanganku melayang ke masa depan. Aku memutuskan untuk merangkul perubahan, menaklukkan rintangan yang akan datang, dan mewujudkan mimpi-mimpi yang pernah terasa begitu jauh. Langit luas di atas kepalaku mengingatkan bahwa dunia ini luas, penuh dengan peluang dan petualangan yang menunggu untuk dijelajahi.
***
Sekarang, aku masih berdiri di depan jembatan ini, tetapi kali ini bersama anak kami yang lucu dan menggemaskan. Kami mengenang kenangan yang dulu pernah kami rajut bersama dibawah langit di atas jembatan kayu ini dan kini kami menciptakan kenangan baru bersama anak kami di atas jembatan yang sama.
Jembatan ini adalah sebuah simbol yang kuat antara kenangan dan impian yang abadi. Meskipun waktu telah berlalu, jembatan ini tetap menjadi penghubung kami dengan masa lalu dan masa depan yang kami lukis dan tulis bersama.
-Tamat-
Iqbal Muchtar
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI