Sore ini aku masih merenung, ditempat yang sama, disebuah dahan yang kering karena musim kemarau, matahari itu masih saja bertengger di singgasananya yang megah, sinarnya sungguh mentereng menyilaukan mata.
"Lat, jangan melamun." Sahut Nyamuk menepuk sayapku, aku hanya menoleh, aku sedang enggan berbicara padanya, aku tahu tabiat kalian para Nyamuk, kalian hinggap di tubuh hewan-hewan itu dan kalian juga hinggap di tubuh manusia, kalian sangat tidak konsisten, "Hei... masih saja melamun." lanjutnya.
"Muk," Panggilku.
"Apa yang kamu pikirkan Lalat?"Â
"Tidak ada."
"Tidak usah kamu pikirkan kemarau ini, semua pasti akan berlalu." Kata Nyamuk yang berusaha menghiburku.
Aku merenung bukan memikirkan kemarau, tapi memikirkan diriku sendiri, sudah lebih dari satu tahun aku beterbangan di sekitar danau ini, namun aku belum mampu beradaptasi dengan makhluk-makhluk yang juga ikut mencari makan di sini, si Belalang, aku pernah berbicara dengannya, ia cukup pintar, namun karena kakinya yang panjang sehingga ia lebih senang melompat ketimbang berfikir dan berdiskusi denganku, si Kupu-kupu, ia cantik dan juga cerdas, bicara dengannya tidak akan bisa seirama, aku Lalat yang gemar berkubang diantara bangkai, konsep pemikiranku tidak seperti makhluk-makhluk yang ada di danau ini, mana ada hewan yang mau mengurai bangkai, hanya aku satu-satunya.
"Muk," Aku menepuknya, "Berikan satu alasan mengapa kamu masih di danau ini?" Tanyaku.
"Hahahaha..." Ia tertawa melihatku, "Lalat, kamu sunggung sangat naif, dimana lagi bisa kudapatkan darah segar?" Lanjutnya.
"Aku dengar banyak yang bisa kamu mangsa di danau sebelah, Â Muk." Kataku.
"Dengarlah, Lalat yang terlalu banyak membaca," Ia menatapku, "aku sudah berada di danau ini lebih dari sepuluh tahun, mana mungkin aku meninggalkan danau ini." Ujarnya sambil tertawa.
Kalian para Nyamuk hanya berfikir untuk mengisi isi perutmu saja, membius mangsamu dan menghisap darahnya hingga perutmu kenyang, lalu kamu pergi meninggalkannya dalam kondisi gatal-gatal dan juga bentol disekujur tubuh makhluk itu, tapi hanya kamu yang bisa berbicara denganku, pemikiranmu itu sangat oportunis, sama sepertiku, tapi aku mementingkan semua yang berada disekelilingku, apa jadinya kalau kotoran-kotoran itu tidak kuurai, aku memberikan kontribusi yang baik untuk alam ini, tapi aku lebih sering dicaci dan dimaki.
"Hei, lihat." Ia membuyarkan lamunanku, kali ini aku benar-benar melamun, "Itu ada bangkai Lele baru."
"Aku sedang tidak tertarik" Jawabku.
"Kenapa?"
"Aku ingin berhenti menjadi Lalat."
"Lalu, mau jadi apa?" Ia terlihat bersungut-sungut, "Bicara denganmu itu tidak pernah ada habisnya." Lanjutnya, lalu ia pergi meninggalkanku di dahan yang kering ini.
Memang aku ingin mengusirmu, begitulah caraku, "Hei... kawan-kawan tunggu aku" teriakku dari jauh, kukepakkan sayapku dan segera terbang menuju bangkai Lele itu."
Â
-TAMAT-
Iqbal Muchtar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H