Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen : Melodi yang Berdenyut di Hatiku

15 Agustus 2023   10:00 Diperbarui: 15 Agustus 2023   10:05 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar oleh Elina Sazonova dari pexel.com

Bagiku, musik adalah napas hidup yang selalu mengalir dalam setiap detak jantung dan celah pikiranku. Ia adalah pencerita yang setia, mampu menggambarkan perasaan yang terlalu kompleks untuk dijelaskan dengan kata-kata. Setiap melodi, setiap lirik, dan setiap harmoni adalah seperti benang merah yang menghubungkanku dengan kedalaman emosi yang tersembunyi.

Ketika musik masuk ke dalam duniaku, waktu seperti berhenti dan hanya ada nada-nada yang terasa begitu nyata. Musik menjadi alat yang tak ternilai bagiku untuk menyampaikan semua yang aku rasakan. Ketika hati ini sedang penuh dengan sukacita, aku merasakan aliran musik dalam gerakan jari-jariku saat memetik senar gitar atau memainkan tuts piano dengan semangat. Dan ketika suasana hatiku sedang kelabu dengan perasaan muram yang menyelimuti, musik adalah pelukan hangat yang begitu lembut mengubah suasana hati melalui petikan melodi- melodi yang mampu memahami perasaanku.

Bukan hanya sekedar suara, musik adalah penjelajah waktu. Ia membawaku kembali ke kenangan-kenangan indah dan menghadirkan nostalgia dengan setiap catatan yang dimainkannya. Ada lagu-lagu yang membangkitkan senyum cerah dari masa lalu dan juga lagu-lagu yang mengajak aku merenung dalam kedamaian saat ini.

Musik adalah sahabat setia dalam hidupku. Setiap hari, saat langkah-langkah membawaku pulang dari kantor yang penuh tekanan, perasaan lega selalu hadir menghampiriku begitu pintu apartemen terbuka. Ruangan yang seketika menyambutku penuh dengan instrumen musik yang tersebar di sana-sini.

Aku bukan hanya pendengar musik, aku juga menciptakannya. Instrumen-instrumen tersebut adalah jendela di dalam jiwaku yang penuh dengan warna dan emosi. Pada hari-hari ketika semangatku sedang meluap, gitar adalah ekspresiku, kord-kord yang energik tercipta begitu saja di ujung jariku. Ketika hatiku sedang berat, piano adalah teman setia yang menemani setiap refleksi dari hati yang aku alami.

Ketika aku menciptakan sebuah lagu, aku merasa seperti seorang pelukis yang menggunakan palet nada untuk menciptakan lukisan emosi. Aku menulis lirik yang menjadi cermin perasaan dan pikiran, melodi yang menjadi pengantar perjalanan hati. Dalam setiap karya, ada secercah jiwa akuyang terpampang, mengungkapkan kisah yang tak pernah akubagikan secara langsung.

Hari ini aku mengalami kegagalan di dalam pekerjaan, aku melakukan sebuah kesalahan yang sangat fatal, aku merasa seperti dunia ini runtuh di hadapan mataku. Aku duduk di depan piano dengan hati yang hancur, tanganku gemetar di atas tuts-tuts dingin ketika aku tiba di apartemenku.

Saat tanganku menyentuh tuts pertama, melodi dari jiwa perlahan terbentuk. Aku tidak tahu dari mana mereka datang, tetapi setiap nada yang aku mainkan adalah cerminan dari kebingungan dan kekecewaan yang mengisi hatiku saat ini. Melodi itu bagaikan terapi bagi luka-luka emosionalku, peneduh bagi jiwa yang sedang gundah, tanpa sadar, lirik-lirik mulai berbaris bermunculan.

Lagu itu seperti gambaran diri yang merupakan pengakuan dari ketidakpastian dan rasa takut yang aku rasakan. Ketika aku menyelesaikannya, perasaan lega mengalir seperti air yang meluncur dari beban yang berat. Melalui musik, aku telah mengekspresikan sesuatu yang kata-kata tidak bisa ungkapkan.

"Aku membuat sebuah lagu." Teriakku, entah kata apa yang tepat untuk menggambarkan perasaanku saat ini.

Aku berlari meraih telepon genggamku, "Nala... Halo Nal, Aku bikin lagu baru." Teriakku.

"Mmmm... berapa hari kita tidak komunikasi, sekalinya telepon cuma kasih kabar baru selesai bikin lagu." Nala dari sisi lain telepon genggam itu berbicara dengan nada datar dan sepertinya sedikit kesal.

"Maaf Nala" Jawabku.

Nala seorang penulis, kami bertemu di kampus, aku jurusan teknik Nala jurusan Sastra, kami bertemu dalam sebuah acara besar di kampus kami, Nala pacarku.

"Maaf..." Ujarnya, "Selalu maaf."

"Aku tidak bisa membagi waktuku dengan kamu, maaf ya Nala" Pintaku.

"Mungkin hari ini hari yang tepat untuk kita berpisah"

"Hah..."

"Kamu pasti mengerti maksud pembicaraan kita, bukan?"

"Nala, kamu bercanda kan?"

"Canda itu hilang di curi waktu, tawa itu lenyap dibawa impian, tersisa hanya piring yang dikerubungi oleh semut-semut yang merasa bosan menghabiskan canda dan tawa itu" Sahut Nala dengan lantang.

"Nala..." aku berusaha memanggil namanya dengan nada yang ia senangi.

"Raehan" ia membalasnya, itu sebuah pertanda kalau ia sedang marah.

"Kita harus bicara."

"Loh, kamu sadar kan, kita sedang bicara loh."

"Bukan, maksud aku..."

"Sudahlah Raehan, selamat tinggal" Nala memotong perkataanku dan mengakhiri sambungan teleponku.

Aku kembali duduk di depan piano dengan hati yang gelap. Ketika jari-jariku menyentuh tuts-tuts piano, perasaan kesepian dan nostalgia dalam hatiku mulai mengalir seperti aliran sungai yang tenang. Melodi yang sayu terbentuk, membawa perasaan yang dalam dan rindu yang tak terungkapkan. Ada suatu keindahan dalam setiap ketukan tanganku yang mengekspresikan getaran hatiku yang terluka.

Masalah di kantorku belum usai, kini aku harus kehilangan Nala, saat ini hanya piano ini lah tempatku melepaskan semua keresahanku. Emosiku membentuk nada-nada melodi suram yang terhubung satu sama lain, lagu mulai membangun kisah yang sarat dengan kehilangan, penyesalan dan kerinduan. Saat nada tinggi dan rendah berpadu, terasa seperti roller coaster emosi yang membawa pendengar pada perjalanan batin yang mendalam. Seperti kata-kata yang tak terucapkan, melodi piano mengisahkan kesedihan dan kehampaan dengan cara yang menggugah hati.

Ketika lagu sendu itu merangkak ke bagian akhir, terasa seperti menghela nafas panjang setelah menyelesaikan surat yang berat di hati. Piano telah menjadi media yang membuat perasaan terdalam tersampaikan, seperti melukis dengan nada-nada yang menciptakan gambaran emosional yang mendalam dan indah dalam lagu.

***

Setelah berbulan-bulan berlalu, seiring waktu aku tidak lagi bersama Nala juga tidak lagi bekerja di kantor itu, aku mengikuti keinginan hatiku menjadi musisi, aku membagikan musik hasil karyaku kepada dunia. Mengunggahnya melalui platform musik online adalah langkah besar yang memerlukan keberanian bagiku.  Berbagai macam tanggapan tentang lagu hasil karyaku, ada tanggapan positif dari pendengar yang memberikan aku keyakinan bahwa aku tidak sendirian dalam berjuang mempertahankan cinta dan asa, ada juga tanggapan miring, bagiku semua itu adalah proses untuk terus bergerak maju.

"Bang Raehan." Seorang wanita menepuk pundakku ketika aku sedang memilih kopi di sebuah cafe.

Aku menoleh, "Ya... ada apa?" Tanyaku.

"Gue penggemar lo bang." Ujarnya. Ia nampak sangat senang melihatku.

"Terima kasih." Balasku.

"Bang... gue boleh minta nomor telepon lo gak." Ia terlihat sangat antusias sekali.

"Boleh..." Aku memberikan ponselku agar ia menulis nomornya, karena ia sedang tidak membawa ponsel.

"Miscall ya bang..." Ia pergi berlalu meninggalkanku.

Sebelum aku memasukan ponsel itu ke saku celanaku, aku melihat nama yang baru saja di tiknya.

"Nala..." Teriakku.

-TAMAT-

Iqbal Muchtar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun