Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Vandalisme di Hatimu

28 Juli 2023   10:00 Diperbarui: 28 Juli 2023   10:12 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar cerpen vandalisme di hatimu, foto oleh Daniel Frank dari pexel.com

Hari itu, suasana di kafe favoritku terasa seakan menyesuaikan diri dengan perasaanku yang kusam. Cappuccino hangat di genggamanku tak lagi mampu mengusir awan kelam dalam pikiranku. Setiap tetes hujan di jendela kafe seakan memperkuat kebingungan dan kekosongan dalam diriku.

Dalam kebuntuan kreatifitas ini, kucoba untuk mengambil napas dalam-dalam, berusaha menghirup energi positif yang ada disekelilingku. Terkadang, ketika tekanan dan kekesalan menyelimuti, ide-ide cemerlang justru menjadi sulit untuk muncul. "Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri" kata-kata itu yang selalu tengiang di otakku. Semua penulis, tanpa kecuali, pernah mengalami masa-masa seperti ini. Kreativitas adalah perjalanan yang tak selalu datang dengan lancar.

Dalam keheningan kafe yang sepi, hatiku terasa berat. Cappuccino hangat di depanku memancarkan aroma menggoda, tapi tidak ada kedamaian dalam jiwa yang gelisah. Jari-jariku terdiam di atas keyboard, mencari kata-kata yang kabur dalam hiruk-pikuk pikiranku. Langit gelap di luar sepertinya mencerminkan perasaanku yang kusut.

"Tinggal menyisipkan beberapa kalimat lagi, dan artikelmu akan selesai" gumam seorang wanita di meja sebelah membuat jantungku berdegup cepat, sedikit terkejut karena tak terduga ada yang memperhatikanku, tatapan matanya yang penuh dengan kehangatan seakan mengajakku untuk melanjutkan percakapan itu. Sementara hujan di luar semakin deras, entah mengapa aku merasa seperti ada harapan untuk mencari inspirasi baru.

"Ternyata ada yang memperhatikan" kataku dengan lembut, sambil tersenyum ke arahnya.

"Iya, semoga aku tidak mengganggumu... Vania" balasnya ramah.

"mmm... gak juga sih" sahutku cepat. "Sejujurnya, aku lagi kehabisan ide, aku harus nulis artikel dan aku benar-benar buntu" kataku dengan perasaan kalut.

Dia mengangguk dengan simpati. "Ah, aku paham. Menulis memang ngak selalu mudah. Mungkin aku bisa bantu, cerita deh, artikelmu itu tentang apa sih, siapa tahu, percakapan kita bisa menginspirasi" Tawaran yang tak terduga dari wanita di meja sebelah memberikan percikan kebahagiaan yang menghangatkan hatiku. Dalam keheningan kafe yang kini terasa nyaman, aku menceritakan dengan terbata-bata topik dari artikelku yang masih belum selesai. Mata cokelatnya menyala antusias, dan senyumnya yang ramah menyejukkan hati.

"Vincent... penulis kolom resah" aku mengenalkan diriku setelah merasakan kehangatan yang terpancar dari tatapan matanya.

Kafe menjadi ramai oleh orang-orang yang berusaha mencari tempat untuk berteduh. Rupanya hujan semakin deras di luar, sama halnya seperti percakapanku dengannya, Aku mengamati jalanan dari jendela kafe, sementara wanita itu tetap asyik mendengarkan ceritaku.

"Tahu gak... apa yang paling menarik dari seni jalanan?" tanya wanita itu, menbuyarkan pikiranku dari khayalanku tentang hujan.

"Apa?" jawabku, tertarik pada pembicaraannya.

"Ia menyampaikan pesan di balik hujan yang turun. Meskipun hujan bisa membuat jalanan terlihat suram, tapi lukisan-lukisan itu, gambar-gambar itu hadir untuk mengingatkan kita bahwa ada keindahan di tengah kegelapan. Pesan optimisme yang datang dari para seniman jalanan, seperti kau yang menulis artikel ini, memberi harapan pada orang-orang bahwa ada cahaya di ujung terowongan"

Aku terkejut dengan konsep berfikirnya yang unik, ia menghubungkan seni jalanan dengan situasi yang sedang kualami. Dia benar, aku harus mencari inspirasi dari segala situasi, bahkan dari hujan ini.

"Sebenarnya aku seorang seniman jalanan" ucapnya perlahan sambil tersenyum.

"Eh..." jawabku dengan perasaan terkejut dan juga kagum, bagaimana mungkin seorang wanita cantik seperti dia adalah seorang seniman jalanan, mereka yang selalu di labeli sebagai pembuat masalah.

Ia melajutkan ceritanya sebagai seniman, aku mendengarkan kisah-kisah menariknya sebagai seorang seniman jalanan dengan penuh antusias. Cerita-ceritanya mengungkapkan bagaimana ia menemukan identitasnya sebagai seniman jalanan dan juga tentang bagaimana setiap karyanya mencerminkan pengalaman hidupnya sendiri. Dalam setiap goresan cat dan garis yang ia buat di tembok kota, ia berhasil menyampaikan pesan-pesan tentang kehidupan, perjuangan, dan kebahagiaan yang begitu dalam dan juga memukau.

Dalam sekejap, pandanganku tentang seni jalanan mengalami transformasi, seni itu tak lagi hanya dilihat sebagai coretan di tembok yang kadang-kadang dianggap vandalisme, tapi sebagai medium ekspresi yang kuat yang mampu menggerakkan perasaan dan menyentuh jiwa orang banyak. Aku menyadari bahwa seni jalanan bukan hanya tentang menciptakan karya di ruang publik, tapi juga tentang berbicara dan berinteraksi dengan masyarakat melalui karya-karya yang ia hasilkan.

Percakapan kami berlanjut dan semakin dalam, mengalir deras seperti hujan yang turun di luar. Dari percakapan itu, aku menemukan kehangatan baru dalam menulis, inspirasi baru yang datang dari seorang seniman yang menyembunyikan identitasnya di balik goresan catnya.

Percakapan ini tidak hanya menginspirasi artikelku tentang seni jalanan, tetapi juga membuka pintu baru bagi kolaborasi dan eksplorasi lebih lanjut dalam dunia seni. Aku menyadari bahwa dalam setiap sudut kota, terdapat kisah-kisah menarik yang bisa diangkat melalui seni jalanan. Dan mungkin, suatu hari nanti, aku juga bisa menorehkan jejakku di tembok-tembok kota ini, menyampaikan pesan-pesan dan cerita-cerita yang ingin aku bagi dengan dunia.

"artikel ini terbit besok pagi" kataku.

"sudut pandangmu sebagai penulis mungkin saja bisa menggiring opini publik" ia seperti berharap agar aku dapat memberikan pandangan positif bagi para seniman jalanan di dalam artikel itu.

"kita baca besok pagi" aku menutup laptopku, dan segera kumasukan kedalam tas, jam tangan yang melingkar di tangan kiri ku menunjukan pukul 21:00, aku harus segera menyelesaikan artikel ini, dengan semangat baru.

"pulang dulu ya... kita ketemu lagi kan?" tanyaku.

"mungkin saja, biar semesta yang menentukan" jawabnya, ia pun berlalu meninggalkanku dengan motor vespanya.

***

Setelah artikelku tentang seni jalanan terbit, kabar mengenai seniman jalanan menyebar dengan cepat. Karya-karya yang menginspirasi yang penuh dengan pesan itu telah menarik perhatian banyak orang.

Beberapa gambar yang dibuat oleh Vania dianggap kontroversial dan melanggar peraturan pemerintah setempat mengenai vandalisme dan mendapat sorotan dari pihak berwenang. Muncul desakan untuk mengungkap identitasnya dan mengambil tindakan hukum terhadapnya. Sementara banyak orang menganggap seni jalanan sebagai bentuk ekspresi yang kuat dan penuh makna, ada juga yang melihatnya sebagai tindakan yang merusak fasilitas umum.

Malam itu, suasana di sudut cafe tempat favoritku itu terasa berbeda. Sudah satu minggu sejak aku bertemu dengannya, aku masih teringat obrolan yang mengalir dengan deras saat itu, senyumnya yang hangat, dan pandangannya yang penuh perhatian. Tiba-tiba, rasa penasaran memenuhi diriku, dan tanpa sadar, aku menanyakan hal itu.

"seminggu yang lalu aku ngobrol sama perempuan di sudut sana" aku berkata, sambil menunjuk tempat di mana aku biasanya menemui inspirasi untuk menulis artikelku. "Dia sering kesini ga ya, kak?" tanya ku kepada pegawai cafe.

Ada campuran getaran kegembiraan dengan kegelisahan dalam hatiku. Aku ingin bertemu dengannya lagi, ingin melanjutkan perbincangan tentang seni jalanan dan apapun yang mungkin terlintas di pikiran kami. Aku ingin berbicara panjang lebar, menjelaskan setiap detail isi tulisanku, memastikan bahwa dia memahami maksud dan pesan di balik kata-kata itu. Entah mengapa, perasaan ini membuatku khawatir Vania bisa saja salah mengartikan artikelku.

Aku kembali merenungkan momen-momen saat kami berbicara. Pandangannya yang antusias dan penuh dengan pengetahuan tentang seni jalanan menginspirasi diriku. Aku ingin tahu lebih banyak tentang latar belakangnya sebagai seorang seniman jalanan, aku masih ingin mendengar lebih banyak kisah perjalanan hidupnya.

"Aku benar-benar berharap bisa bertemu dengannya lagi" pikirku dalam hati. Aku kembali fokus pada artikel kedua yang tak kunjung usai, gelisah itu tetap menghantui pikiranku. Entah apa yang membuatku merasa seperti ini, tapi satu hal yang pasti, pertemuan itu meninggalkan kesan yang mendalam dalam hatiku.

"Ternyata viral juga ya, seni jalanan itu" ucapnya sambil tersenyum lembut, ia berdiri dihadapanku.

Aku merasa sangat lega mendengar suaranya, senyumnya mengembalikan kehangatan di hatiku. Kami pun kembali terlibat dalam percakapan yang menyebalkan juga menyenangkan. Aku berusaha menjelaskan lebih lanjut tentang isi artikelku, dan dia dengan sabar mendengarkan setiap kata yang kuucapkan.

Setelah selesai aku jelaskan, dia memberikan pandangan cerdasnya tentang topik itu, ia sama sekali tidak memberikan pandangan negatif. Perbincangan kami semakin dalam dan penuh makna. Aku merasa beruntung bisa bertemu dengan seseorang yang sepertinya begitu memahami dan menghargai apa yang kucoba sampaikan dalam tulisanku.

"itu memang sudah menjadi konsekuensi dari seni jalanan. Tidak semua orang akan suka atau memahami pesan yang ingin aku sampaikan. Tapi bagi aku, seni jalanan adalah bentuk ekspresi yang bebas, dan penting untuk tetap mempertahankan ruang bagi kreativitas ini" Katanya.

"Tapi aku juga khawatir dengan beberapa gambar kontroversialmu, kamu juga akan berhadapan dengan peraturan pemerintah tentang vandalisme? Juga anggapan orang-orang tentang pengrusakan fasilitas umum?" tanyaku dengan perasaan cemas.

"Vincent... sejak saat itu, seminggu yang lalu, aku sudah bukan Vania yang kemarin" ia tidak menjawab pertanyaanku, ia memberikanku sebuah teka-teki.

"memang apa yang membedakan Vania yang kemarin dan sekarang?" tanyaku berusaha memecahkan teka-teki itu.

"lihatlah tembok diluar sana" ia menunjuk kearah tembok yang saat itu menjadi perbincaraan kami.

"Ia menyampaikan pesan di balik cahaya senja yang redup. Meskipun cahaya redupnya membuat jalanan terlihat cerah, tapi lukisan-lukisan itu, gambar-gambar itu sudah tidak ada, Pesan optimisme yang datang dari para seniman jalanan hilang, seperti aku yang kehilangan inspirasi ketika ingin menulis artikel ini, bagaimana mungkin aku memberi harapan pada orang-orang yang yakin bahwa ada cahaya di ujung terowongan itu" jawabku membalas kalimatnya yang membuat pikiranku terbuka saat pertemuan itu.

"Vin... aku sudah membersihkan semua coretan-coretan itu" aku menatap matanya, tidak terbesit kesedihan dari matanya, ia tersenyum sangat bahagia.

"ke... kenapa?" tanyaku ragu.

"aku sudah bertemu seorang laki-laki yang akan menyampaikan pesan-pesan tentang kehidupan, perjuangan, dan kebahagiaan melalui tulisannya yang memukau" ia menatapku.

"siapa?" tanyaku bingung.

"kamu" ia menatap mataku sangat dalam, jarinya telunjuknya menyentuh hidungku, kemudian ia pergi dan meninggalkan selembar kertas.

"aku akan vandalisme di hatimu?" tulisan dengan ciri khas coretan-coretan yang terpampang ditembok itu.

-TAMAT-

Iqbal Muchtar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun