Mohon tunggu...
Iqbal Maulana
Iqbal Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Iqbal Maulana

Sederhana tapi signifikan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Harmonisasi Agama dan Budaya: Simbiosis Kehidupan Suku Karo

29 Desember 2024   10:00 Diperbarui: 29 Desember 2024   14:54 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : (https://medan.tribunnews.com/2023/11/27/tradisi-cakap-lumat-pada-suku-karo-sebagai-bentuk-norma-kesopanan-dalam-masyarakat )

Negara kesatuan republik Indonesia adalah negara yang cukup besar dan variasinya banyak sekali keanekaragaman budaya yang dimiliki Indonesia, karena Indonesia Ada berbagai suku yang tinggal di berbagai daerah. telah mengembangkan berbagai bentuk kebudayaan seperti ritual Tradisi, tarian dan adat istiadat mempunyai nilai yang berbeda Di antara suku-suku Indonesia lainnya, Perbedaan budaya dimiliki oleh setiap suku Indonesia, bukan solusi Konflik tetapi menunjukkan keberagaman Budaya Indonesia.

Salah satu dari sekian banyak wilayah yang ada di Indonesia adalah pulau Sumatera salah satunya yang memiliki banyak suku-suku dan kekayaan budaya melimpah seperti di Sumatera Utara yang dikenal dengan nama kotanya adalah Kota Medan, suku yang cukup terkenal ada di Sumatera Utara ini adalah Melayu dan Suku Batak (Tarmizi, 2018). Batak merupakan salah satu suku bangsa Indonesia ini. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara.

Salah satu kelompok dari suku Batak adalah Suku Karo, yang memiliki keunikan budaya tersendiri. Suku Karo dikenal dengan tradisi adat yang kuat, bahasa khas Karo, serta kehidupan yang erat kaitannya dengan alam. Mereka mayoritas bermukim di dataran tinggi Karo, sebuah wilayah yang subur dan terkenal dengan pemandangan alamnya yang indah, seperti Gunung Sinabung dan kawasan Berastagi. Kehidupan masyarakat Karo mencerminkan harmoni antara tradisi dan lingkungan mereka, menjadikan mereka salah satu bagian tak terpisahkan dari kekayaan budaya Sumatera Utara.

Rumah adat masyarakat Karo, yang dikenal dengan nama Siwaluh Jabu, merupakan salah satu simbol kearifan lokal dan identitas budaya Karo. Nama Siwaluh Jabu secara harfiah berarti "rumah untuk delapan keluarga," yang mencerminkan fungsi rumah ini sebagai tempat tinggal bersama delapan keluarga dalam satu atap. Rumah adat ini terdiri dari delapan bilik, di mana setiap bilik diperuntukkan bagi satu keluarga. Kehidupan di dalamnya diatur berdasarkan pola kekerabatan tradisional, dengan setiap keluarga memiliki tugas dan fungsi masing-masing yang mencerminkan solidaritas dan nilai gotong royong masyarakat Karo.

Sumber :
Sumber : " https://www.merdeka.com/sumut/mengungkap-suku-karo-yang-berasal-dari-india-selatan-begini-asal-usulnya-159037-mvk.html?page=4  "

Selain rumah adat, kekayaan budaya Karo juga terlihat dari busana tradisional mereka. Wanita Karo mengenakan kain yang disebut Gatip Ampar di atas bahunya dan melengkapi penampilan dengan anting-anting khas berbahan perak yang disebut Padung Perak. Sementara itu, pria Karo mengenakan pakaian tradisional seperti Julu Berjongkit atau Ragi Santik, yang digunakan sebagai penutup pinggul. Foto yang diambil di salah satu desa di Kabupaten Karo menunjukkan bagaimana masyarakat Karo menjaga tradisi berpakaian mereka sebagai bagian dari identitas budaya yang telah diwariskan turun-temurun. Hal ini mencerminkan betapa kaya dan uniknya warisan budaya Karo, yang terus menjadi bagian penting dari keberagaman budaya Indonesia.

Masyarakat Karo Mereka lebih akrab mengatakan daerah mereka "Taneh Karo (Tanah Karo)" dan etnis mereka "Kalak Karo (Orang Karo)" sangat dekat dengan alam, karena itu kehidupan suku Karo juga sangat dipengaruhi oleh alam, dalam artian segala ativitas baik itu mata pencarian ataupun upacara budaya yang di lakukan sebagian besar terlukiskan untuk alam, beserta segala bentuk yang menjadi bagian dari alam (Tarmizi, 2018).

Prinsip dasar yang dianut oleh masyarakat Karo menekankan pentingnya memberi terlebih dahulu sebelum menerima. Filosofi ini menjadi landasan dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Hal ini tercermin dalam ungkapan tradisional "mangkok lawes mangkok reh," yang berarti bahwa siapa pun yang memberi akan menerima balasannya kelak.

Menurut Prinst (dalam Tarmizi, 2018), Bagi suku Karo, setiap tindakan yang dilakukan akan membawa konsekuensi yang sepadan, sebagaimana tergambar dalam pepatah mereka, "adi ngalo la rido, nggalar la rutang," yang memiliki arti bahwa menerima sesuatu yang tidak sah atau tidak layak akan mendatangkan malapetaka. Oleh karena itu, ada pula pepatah lain yang berbunyi, "pangan labo ate keleng, tapi angkar beltek," yang menegaskan bahwa seseorang bebas melakukan apa saja, asalkan mempertimbangkan dampak dan akibat dari perbuatannya.

Adat perkawinan Suku Karo mempunyai suatu tradisi yaitu adalah rebu. Rebu artinya tidak boleh berkomunikasi secara langsung, dilarang atau tidak dibenarkan melakukan sesuatu dengan orang yang di-rebu-kan (Bangun, 1986). Tradisi rebu tersebut dapat menghindari sesuatu yang tidak diinginkan seperti khilaf atau hubungan yang terlarang. Hal ini secara tidak langsung memperlihatkan adanya batas kebebasan diri. Perilaku seperti ini mengingatkan orang dan sadar akan prinsip sosial dalam cara hidup berkerabat, maka melalui rebu orang akan mampu mengontrol perbuatannya sendiri. Rebu menimbulkan mehangke atau enggan, dari enggan menimbulkan rasa hormat dan rasa hormat menimbulkan sopan santun (Ginting et al., 2022).

Menurut Tarigan (dalam Ginting et al., 2022), Rebu pada Suku Karo terbagi atas tiga pihak yaitu mertua laki-laki (bengkila) dengan menantu perempuan (permain); mertua perempuan (mami) dengan menantu laki-laki (kela); dan ipar yang berlain jenis kelamin (erturangku). Dalam hal ini terdapat dua pengertian yaitu bila dia adalah seorang laki-laki, maka turang-nya adalah istri dari saudara kandung laki-laki istrinya. Bila dia seorang perempuan, maka turangku-nya adalah suami dari saudara perempuan suaminya.

Menurut Tridah (dalam M. Abduh Lubis, 2017) Pada awalnya, masyarakat Karo menganut kepercayaan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi oleh para leluhur. Kepercayaan ini dikenal dengan nama perbegu, sipelbegu, atau sering disebut juga sebagai agama pemena. Namun, seiring waktu, meskipun penyebaran agama-agama baru di kalangan masyarakat Karo awalnya mengalami tantangan, terutama di daerah pedalaman seperti Kabanjahe, pada tahun 1950-an pengaruhnya terhadap kehidupan sosial masyarakat Karo masih belum begitu signifikan. Kendati demikian, lambat laun kepercayaan lokal ini mulai ditinggalkan oleh sebagian besar masyarakat Karo (Tridah 1986: 35).

Saat ini, agama memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Karo. Hampir seluruh masyarakat Karo di Kabanjahe kini menganut salah satu agama resmi yang diakui oleh negara. Namun, di sisi lain, masyarakat Karo tetap erat terhubung dengan budaya dan adat istiadat yang telah diwariskan secara turun-temurun. Identitas sebagai orang Karo membawa tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur yang telah memberikan dasar kehidupan mereka.

Dalam kehidupan sehari-hari, mereka mempraktikkan toleransi tinggi terhadap perbedaan keyakinan. Dalam satu keluarga besar, sering ditemukan anggota keluarga yang menganut agama berbeda, tetapi tetap hidup rukun dengan saling menghormati. Ritual adat seperti *kerja tahun* (upacara adat tahunan) sering melibatkan seluruh komunitas, terlepas dari keyakinan agama masing-masing. Upacara-upacara ini menunjukkan bahwa ikatan sosial dan budaya lebih kuat dibandingkan perbedaan agama.

Dengan demikian, harmonisasi agama pada suku Karo merupakan contoh bagaimana masyarakat tradisional dapat mengintegrasikan kepercayaan baru tanpa mengabaikan akar budaya mereka, sekaligus memupuk rasa persatuan di tengah keberagaman keyakinan.

REFERENSI :

  • Ginting, S., Harahap, R., & Wuriyani, E. P. (2022). Rebu: Tradisi pantangan suku Karo (Studi etnografi pada suku Karo di kota Medan). Jurnal Penelitian Humaniora, 27(1), 1--7. https://doi.org/10.21831/hum.v27i1.50073
  • M. Abduh Lubis. (2017). Budaya Dan Solidaritas Sosial Dalam Kerukunan Umat Beragama Si Tanah Karo. Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama Dan Perubahan Sosial, 11(02), 239--258.
  • Tarmizi, R. (2018). Konseling Multibudaya dan kearifan lokal Suku Karo Sumatera Utara dengan Pendekatan Realitas. Prosiding Seminar Nasional Bimbingan Dan ..., 2(1), 435--444. http://prosiding.unipma.ac.id/index.php/SNBK/article/view/520

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun