Menurut Tarigan (dalam Ginting et al., 2022), Rebu pada Suku Karo terbagi atas tiga pihak yaitu mertua laki-laki (bengkila) dengan menantu perempuan (permain); mertua perempuan (mami) dengan menantu laki-laki (kela); dan ipar yang berlain jenis kelamin (erturangku). Dalam hal ini terdapat dua pengertian yaitu bila dia adalah seorang laki-laki, maka turang-nya adalah istri dari saudara kandung laki-laki istrinya. Bila dia seorang perempuan, maka turangku-nya adalah suami dari saudara perempuan suaminya.
Menurut Tridah (dalam M. Abduh Lubis, 2017) Pada awalnya, masyarakat Karo menganut kepercayaan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi oleh para leluhur. Kepercayaan ini dikenal dengan nama perbegu, sipelbegu, atau sering disebut juga sebagai agama pemena. Namun, seiring waktu, meskipun penyebaran agama-agama baru di kalangan masyarakat Karo awalnya mengalami tantangan, terutama di daerah pedalaman seperti Kabanjahe, pada tahun 1950-an pengaruhnya terhadap kehidupan sosial masyarakat Karo masih belum begitu signifikan. Kendati demikian, lambat laun kepercayaan lokal ini mulai ditinggalkan oleh sebagian besar masyarakat Karo (Tridah 1986: 35).
Saat ini, agama memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Karo. Hampir seluruh masyarakat Karo di Kabanjahe kini menganut salah satu agama resmi yang diakui oleh negara. Namun, di sisi lain, masyarakat Karo tetap erat terhubung dengan budaya dan adat istiadat yang telah diwariskan secara turun-temurun. Identitas sebagai orang Karo membawa tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur yang telah memberikan dasar kehidupan mereka.
Dalam kehidupan sehari-hari, mereka mempraktikkan toleransi tinggi terhadap perbedaan keyakinan. Dalam satu keluarga besar, sering ditemukan anggota keluarga yang menganut agama berbeda, tetapi tetap hidup rukun dengan saling menghormati. Ritual adat seperti *kerja tahun* (upacara adat tahunan) sering melibatkan seluruh komunitas, terlepas dari keyakinan agama masing-masing. Upacara-upacara ini menunjukkan bahwa ikatan sosial dan budaya lebih kuat dibandingkan perbedaan agama.
Dengan demikian, harmonisasi agama pada suku Karo merupakan contoh bagaimana masyarakat tradisional dapat mengintegrasikan kepercayaan baru tanpa mengabaikan akar budaya mereka, sekaligus memupuk rasa persatuan di tengah keberagaman keyakinan.
REFERENSI :
- Ginting, S., Harahap, R., & Wuriyani, E. P. (2022). Rebu: Tradisi pantangan suku Karo (Studi etnografi pada suku Karo di kota Medan). Jurnal Penelitian Humaniora, 27(1), 1--7. https://doi.org/10.21831/hum.v27i1.50073
- M. Abduh Lubis. (2017). Budaya Dan Solidaritas Sosial Dalam Kerukunan Umat Beragama Si Tanah Karo. Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama Dan Perubahan Sosial, 11(02), 239--258.
- Tarmizi, R. (2018). Konseling Multibudaya dan kearifan lokal Suku Karo Sumatera Utara dengan Pendekatan Realitas. Prosiding Seminar Nasional Bimbingan Dan ..., 2(1), 435--444. http://prosiding.unipma.ac.id/index.php/SNBK/article/view/520
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H