Perang Banjar adalah perang yang dilakukan oleh seluruh komponen masyarakat Banjar ketika menghadapi kolonialisme Belanda. Perang ini terjadi pada tahun 1859-1905 (Hendraswati & Jamalie, 2017). Perang dipimpin oleh Pangeran Antasari dan terjadi perlawanan di berbagai daerah seperti di Pos-pos Belanda, Martapura dan Pengaron diserang oleh pasukan Antasari.
Menurut Gazali Usman , Perang Banjar ialah perang untuk mempertahankan kedaulatan. Daerah yang terkena dampak campur tangan penjajah Belanda yang telah merusak adat istiadat, standar agama, dan elemen kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, Perang Banjar bukanlah perang feodalis. Sebaliknya, perang untuk kepentingan rakyat, melindungi keutuhan negara dan bangsa, melindungi keutuhan agama dari penjajah Belanda yang ingin menguasai mereka.
Perang Banjar adalah perang terlama yang pernah terjadi di Nusantara, berlangsung hampir 50 tahun. Perlawanan ini berlangsung dalam dua tahap utama: tahap ofensif, yang berlangsung singkat dari tahun 1859 hingga 1863, dan tahap pertahanan, yang berlangsung lama dari tahun 1863 hingga 1905. Perang ini mencerminkan semangat perjuangan rakyat Banjar melawan kekuasaan kolonial Belanda, meskipun menghadapi tantangan besar dari segi militer dan logistik. Perlawanan yang gigih ini menunjukkan tekad kuat masyarakat Banjar untuk mempertahankan kedaulatan dan martabat tanah air mereka.Â
Perang Banjar diawali oleh keputusan Belanda yang menobatkan Pangeran Tamjidillah II sebagai sultan, memicu perlawanan dari kelompok pendukung Pangeran Antasari, yang dianggap lebih sah secara garis keturunan. Panembahan Muning (Aling), mantan abdi Sultan Adam, memimpin perlawanan dari pedalaman Kalimantan Selatan, berpusat di Kembayau. Gerakan ini mendapat dukungan dari Kesultanan Paser, Kesultanan Kutai Kertanegara, dan pasukan Dayak pimpinan Tumenggung Surapati. Pada 25 April 1859, pasukan Pangeran Antasari dan Muning menyerang tambang batu bara Pengaron, menghancurkan tambang dan pemukiman Belanda. Serangan ini menjadi awal Perang Banjar, menandai perlawanan besar melawan kekuasaan kolonial di Kalimantan.
Menurut Saleh (dalam Hendraswati & Jamalie, 2017), Pecahnya Perang Banjar tidak hanya ditandai oleh serangan pasukan Banua Ampat di bawah pimpinan Pangeran Antasari terhadap tambang batu bara di Pengaron, tetapi juga oleh serangkaian serangan rakyat Banjar terhadap pusat-pusat kekuatan Belanda lainnya. Beberapa peristiwa penting di antaranya adalah serangan ke tambang batu bara di Kalangan, Banyu Irang, dan Bangkal (Kabupaten Banjar), serangan di Marabahan (Kabupaten Barito Kuala), serta penyerangan tambang batu bara Hermina di Sungai Durian (Kabupaten Tanah Bumbu).
Jalannya Perang Banjar menunjukkan eskalasi konflik antara Kesultanan Banjar dan kekuatan kolonial Belanda. Pada 25 Juni 1859, Belanda memberhentikan Sultan Tamjidillah II dan mengasingkannya ke Bogor untuk meredakan ketegangan. Sebagai gantinya, mereka menawarkan takhta kepada Pangeran Hidayatullah II. Namun, Pangeran Hidayatullah II menolak tawaran tersebut dan memilih bergabung dengan Pangeran Antasari untuk memimpin perlawanan terhadap Belanda.
Pada September 1859, Pangeran Hidayatullah II dinobatkan sebagai Sultan Banjar oleh para pendukungnya di Amuntai. Langkah ini memicu kemarahan Belanda, yang akhirnya menghapus Kesultanan Banjar secara resmi pada 11 Juni 1860. Gabungan pasukan Pangeran Antasari dan Sultan Hidayatullah II terus memberikan perlawanan sengit, sehingga Belanda beralih menggunakan taktik licik untuk melemahkan kekuatan mereka.
Belanda menyandera ibu Pangeran Hidayatullah II, yang memaksa sang pangeran untuk menyerah. Ia akhirnya ditangkap pada 2 Maret 1862, dibawa ke Martapura, dan kemudian diasingkan ke Cianjur pada 3 Februari 1862. Sejarawan Yanuar Ikbar dalam tulisannya "Pelurusan Sejarah Perang Banjar (1859-1863)" menyoroti momen-momen ini sebagai bukti perjuangan sengit rakyat Banjar melawan kolonialisme, meski diwarnai oleh intrik dan tekanan dari Belanda (Syamsul Dwi Maarif, 2021).
Faktor lain yang bahkan dianggap sebagai penyebab awal perseteruan rakyat Banjar dengan kolonial Belanda. Perdagangan adalah faktor yang mendorong kedatangan Belanda. Faktor ini kemudian berkembang menjadi dominasi Belanda dan monopoli terhadap jalur perdagangan di seluruh wilayah Kesultanan Banjar. Perdagangan monopoli ini diikuti dengan penguasaan wilayah tertentu di Tanah Banjar sebagai akibat dari konpensasi dan taktik penipuan mereka untuk mengganggu urusan internal Kesultanan Banjar. Belanda telah memonopoli perdagangan lada, rotan, damar, dan hasil tambang seperti emas dan intan melalui perusahaan dagangnya VOC. Akibat monopoli perdagangan Belanda mengakibatkan terjadinya persaingan yang tidak sehat. Tidak hanya antara pedagang Belanda dengan pedagang Banjar, tetapi juga dengan pedagang-pedagang dari kawasan lain, bahkan dengan pedagang asing, seperti pedagang dari Inggris, Cina, Arab, dan India.
Setelah Pangeran Hidayatullah II diasingkan, kepemimpinan perjuangan melawan Belanda dilanjutkan oleh Pangeran Antasari. Pada 14 Maret 1862, Pangeran Antasari dinobatkan sebagai Sultan Banjar oleh rakyat Banjar dan Dayak. Menghadapi peningkatan kekuatan militer Belanda yang mendatangkan pasukan tambahan dari Batavia, Pangeran Antasari mengubah taktik menjadi perang gerilya. Namun, perjuangannya terhenti ketika ia terserang penyakit cacar dan paru-paru, hingga wafat pada 11 Oktober 1862. Sepeninggal Pangeran Antasari, perlawanan rakyat Banjar mulai meredup karena para pemimpin lainnya ditangkap, dibunuh, atau diasingkan oleh Belanda.
Jadi kesimpulannya adalah Perang Banjar, yang berlangsung hampir setengah abad (1859--1905), merupakan salah satu perjuangan terpanjang dalam sejarah Nusantara melawan kolonialisme Belanda. Dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayatullah II, perang ini melibatkan seluruh elemen masyarakat Banjar, termasuk suku Dayak, dalam mempertahankan kedaulatan, agama, dan adat istiadat dari dominasi kolonial. Perlawanan ini dimulai dari konflik atas penobatan sultan yang didukung Belanda hingga monopoli perdagangan yang merugikan rakyat Banjar. Meski penuh semangat juang dan pengorbanan, kisah heroik ini kerap terlupakan dalam narasi sejarah Indonesia, padahal ia mencerminkan keteguhan bangsa dalam menghadapi penjajahan dan mempertahankan martabat tanah air.
Referensi :
- Hendraswati, & Jamalie, Z. (2017). Pedagang Dan Gerakan Perlawanan Terhadap Kolonial Belanda Pada Masa Perang Banjar (1859-1905). 132. http://idr.uin-antasari.ac.id/13938/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H