Mohon tunggu...
Iqbal Julian Fachruddin
Iqbal Julian Fachruddin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Purwokerto

Ada dua aturan hidup: 1) Jangan pernah berhenti belajar. 2) Selalu ingat aturan ke-1.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Strategi Komunikasi dalam Menangani Kasus Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

20 April 2024   11:44 Diperbarui: 20 April 2024   12:05 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemangsa Seks di Kampus Kita-majalah.temp.co

A. PENDAHULUAN

Kekerasan seksual merupakan suatu tindakan menghina, mencela, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh yang dipengaruhi oleh faktor relasi kuasa yang mengakibatkan gangguan mental termasuk menganggu kesehatan reproduksi seseorang dalam memenuhi potensi diri sehingga menghambat dirinya dalam melaksanakan pendidikan dengan baik. Kekerasan seksual juga dapat diartikan sebagai perlakuan yang didasari oleh perbedaan gender yang menyebabkan penderitaan fisik, seksual, atau mental seseorang. Hal ini merupakan tindakan yang bersifat memaksa atau merampas kebebasan diri secara sewenang-wenang, baik di lingkungan publik maupun di rumah. (Yanti, 2011:90)

Pada saat ini, angka kasus kekerasan seksual di Indonesia mencapai angka yang cukup tinggi dan berada pada titik yang mengkhawatirkan. Menurut data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), isu kekerasan seksual tercatat sebesar 8.234 kasus yang salah satunya terjadi di beberapa universitas dengan jumlah 27% kasus. Penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi sangat penting. Hal ini muncul karena jumlah kasus kekerasan seksual yang meningkat, terutama yang melibatkan perempuan dan anak. Terdapat sejumlah 4.475 kasus kekerasan seksual pada tahun 2014. Namun, jumlah ini meningkat menjadi 6.499 pada tahun 2015 (Komnas Perempuan, 2018). Dari angka tersebut, perguruan tinggi termasuk kelompok yang memiliki tingkat kasus yang cukup tinggi. Kekerasan seksual pernah terjadi di beberapa perguruan tinggi, baik keagamaan maupun umum, menurut laporan dari majalah Tirto.id dan Tempo. Universitas yang umumnya tempatnya orang berpendidikan, justru juga tidak menjamin tidak adanya kekerasan seksual.

Perguruan tinggi menjadi lembaga pendidikan, tidak hanya mempelajari ilmu, tetapi juga etika dan moral. Apalagi, perguruan tinggi tersebut merupakan perguruan tinggi islam yang mengutamakan norma agama sebagai pedoman dan simbolis dari perguruan tinggi itu sendiri. Maka dari itu, peraturan hukum di sebuah perguruan tinggi sangat penting agar mencegah tindakan-tindakan kekerasan seksual.

Terdapat beberapa alasan mengapa pentingnya pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Pertama, korban kekerasan seksual bisa mengalami dampak fisik, sosial, dan psikologis yang signifikan. Kedua, terdapat beberapa kasus yang dibiarkan dan juga disebabkan karena korban dipaksa untuk bungkam oleh pelaku. Ketiga, kekerasan seksual tidak dianggap sebagai masalah utama karena dianggap normal, contohnya Catcalling, yakni perkataan dengan suara keras yang mengarah ke seksualitas, bersiul, mencolek, dan menyentuh bagian tubuh tertentu, adalah salah satu contoh perlakuan yang tidak dianggap sebagai kekerasan seksual (Melati, 2019).

B. PEMBAHASAN

Kekerasan seksual tidak hanya merupakan jenis penindasan terhadap perempuan, tetapi juga merupakan pelanggaran HAM. Selama bertahun-tahun, baik pemerintah maupun aktivis hingga akademisi telah berusaha untuk menghentikan kasus kekerasan seksual yang merupakan salah satu tujuan penting dari Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Menurut undang-undang ini, kekerasan seksual termasuk segala bentuk pelecehan, penghinaan, tindakan menyentuh tubuh dengan hasrat seksual secara paksa. Hal ini disebabkan oleh ketimpangan dalam hubungan gender yang menyebabkan konflik kuasa, serta alasan lain yang dapat menyebabkan penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, mental, atau sosial (Purwanti, 2018).

  • Peristiwa Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual yang dirasa hal tersebut merupakan tindakan yang biasa hingga dianggap tidak terlalu diperhatikan dikarenakan hal itu mempengaruhi reputasi dan nama baik universitas. Perguruan tinggi seharusnya lebih bisa peduli terhadap kekerasan seksual, salah satunya dengan mengedukasi dan menginformasi tentang kekerasan seksual, keadilan hukum, dan menjelaskan tata cara mengadu jika terjadi kekerasan seksual.

Kejadian kekerasan seksual biasanya dipengaruhi oleh faktor ketimpangan relasi kuasa. Pola relasi kuasa dapat dilihat dari hubungan antara mahasiswa dengan dosen, rektor dengan karyawan, atau lain sebagainya. Akibatnya, blaming victim terjadi jika salah satu korban berani melapor atas tindakan kekerasan seksual yang menimpa dirinya. Terlebih lagi, kejadian kekerasan seksual disembunyikan dengan alasan untuk menjaga nama baik perguruan tinggi sehingga pelaku menggunakan alasan tersebut untuk menjadi imunitas bagi dirinya (Nikmatulloh ,2020).

Sebagai lembaga yang berfokus terhadap keadilan dan kesetaraan gender, PSGA (Pusat Studi Gender dan Anak) belum pernah menerima laporan korban kekerasan seksual di perguruan tinggi. Kasus yang dilaporkan dapat dicatat sebagai isu dan diproses apabila ada yang mengajukan. Syarat mengajukan kasus termasuk informasi tentang kronologi peristiwa, harus mencakup berkas data pribadi seperti KTP, KK, akte kelahiran, dan berkas pendukung lainnya.

Berkaitan dengan kekerasan seksual, selain melakukan penanganan, UIN Walisongo Semarang juga melakukan pencegahan yakni membangun lembaga Unit Layanan/Pengaduan yang berfungsi sebagai penerima laporan kasus. Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) sebagai pimpinan sektor menjalin kerjasama dengan beberapa unit kampus guna menangani kasus kekerasan seksual. Ada beberapa upaya sikap pencegahan dan penanganan oleh pihak kampus bersamaan dengan lembaga Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA). Pertama, melakukan kegiatan sosialisasi SK Dirjen Pendis Nomor 5494 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tingga Keagamaan Islam untuk seluruh civitas akademisi. Hal ini tentunya bertujuan agar dapat memahami ragam kekerasan seksual.

Kedua, menghidupkan kembali grup Gender Vocal Point (GVP) di ranah tenaga pendidik. Biasanya, anggota grup ini dipilih dari perorangan setiap fakultas dan memiliki perspektif gender yang baik. GVP ini merupakan pembantu PSGA dalam menyamai nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender di lingkungan perguruan tinggi.

Ketiga, membuat tim survei yang ranahnya mahasiswa. Hal ini dinisiasi karena adanya laporan dari korban kekerasan seksual (mahasiswa) terhadap PSGA yang dilakukan oleh pelaku kekerasan seksual. Untuk menekankan pentingnya kampus yang aman dan bebas dari kekerasan seksual, PSGA percaya pada kebutuhan untuk memiliki jaringan mahasiswa yang berfungsi sebagai pusat suara. Tim survei dipilih berdasarkan beberapa kriteria. Mereka harus memiliki perspektif gender yang positif, belum pernah terlibat dalam aktivitas yang berkaitan dengan isu gender atau kekerasan seksual, dan sangat suka berdonasi. Diharapkan bahwa tim enumerator memiliki kemampuan untuk bertindak sebagai konselor bagi siswa sebaya mereka. Selain membentuk tim enumerator, PSGA juga mendorong organisasi intra dan ekstra sekolah untuk memasukkan tema kekerasan seksual ke dalam kegiatan mereka seperti diskusi maupun seminar.

Keempat, memberikan dukungan hingga tingkat pimpinan tertinggi kampus. Tujuan adanya dukungan ini untuk mendorong kebijakan kampus yang memperhatikan kesetaraan gender. Sebagai sektor utama, PSGA mendorong SK Rektor terkait penanganan kekerasan seksual di kampus. SK ini mencakup aturan tentang penindakan pelaku dan penanganan korban kekerasan seksual. Perencanaan dan infrastruktur juga memiliki tujuan advokasi tambahan, seperti pembangunan kamar mandi terpisah, pengamanan CCTV, dan lain sebagainya.

Melalui kerja sama dengan LSM seperti LRC KJHAM dan klinik kesehatan kampus, advokasi juga menghasilkan mekanisme perlindungan dan rujukan. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam yang didalamnya menetapkan bahwa civitas akademik, tenaga kependidikan, karyawan, pihak ketiga, dan masyarakat di sekitar kampus adalah semua pihak yang terlibat.

Kelima, melakukan kajian dan pemetaan situasi serta kemungkinan kekerasan seksual yang mungkin terjadi. Banyak kajian yang membahas tentang kekerasan seksual yang diselenggarakan oleh PSGA dan komunitas mahasiswa, seperti "Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi" melalui webinar. Kegiatan ini dilakukan sebagai tanggapan dari gejala kekerasan seksual yang semakin meningkat di beberapa universitas di Indonesia. Setelah itu, DEMA dari Fakultas Ushuluddin dan Humaniora mengadakan diskusi dengan judul "Tergerusnya Ruang Aman Perempuan dalam Ekspresi Publik".

C. KESIMPULAN

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa UIN Walisongo Semarang menggunakan kode etiknya untuk menangani kasus kekerasan seksual. Namun, beberapa poin masih perlu dievaluasi. UIN Walisongo masih kekurangan prasarana, infrastruktur, dan tata ruang yang diperlukan untuk menjadi kampus yang berperspektif gender dan mendukung pendampingan korban kekerasan seksual. Namun, dari sisi semangat, UIN Walisongo dapat dianggap sebagai kampus yang mendukung perspektif gender. Untuk membuat UIN Walisongo menjadi tempat yang aman dan ramah dari kekerasan seksual, pimpinan dan stake holder harus bekerja sama.

Adanya upaya untuk mencegah kekerasan seksual seperti membentuk kelembagaan, kerjasama antar lembaga, terbentuknya surat keputusan menjadi salah satu strategi komunikasi dalam menangani kekerasan seksual dalam suatu perguruan tinggi. Keterlibatan seluruh civitas akademisi menjadi faktor penentu tercapainya lingkungan kampus yang jauh dari kasus kekerasan seksual.

D. DAFTAR PUSTAKA

Ramadiani, A. I., Azani, S. S., Nurulita, S. S., & Noer, K. U. (2022, October). Pelibatan Mahasiswa Dalam Advokasi Kebijakan Pencegahan Dan Penanggulangan Kekerasan Seksual Pendidikan Tinggi Di Indonesia. In Prosiding Seminar Nasional Pengabdian Masyarakat LPPM UMJ (Vol. 1, No. 1).

Marfu'ah, U., Rofi'ah, S., & Maksun, M. (2021). sistem pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus UIN Walisongo Semarang. Kafaah: Journal of Gender Studies, 11(1), 95-106.

Lathif, N., Irawan, K. K. R., Purwinarto, D. P., & Putra, R. M. (2022). Reformasi Kebijakan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Menurut Undang-Undang TPKS Untuk Mencapai Masyarakat Indonesia Yang Madani. PALAR (Pakuan Law review), 8(4), 91-105.

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/16039/Pencegahan-Kekerasan-Seksual.html

http://repository.unimus.ac.id/2596/3/16.%20BAB%20II.pdf

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun