Mohon tunggu...
M. Iqbal Fardian
M. Iqbal Fardian Mohon Tunggu... Ilmuwan - Life Time Learner

Penulis adalah seorang pendidik di sebuah sekolah swasta kecil di Glenmore, Banyuwangi. Seorang pembelajar yang tak pernah selesai untuk terus belajar. Saat ini penulis sedang menempuh Pendidikan di Program S3 Ilmu Ekonomi Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Sejarah Kota Glenmore dan Kebijakan Pintu Terbuka di Belanda

31 Desember 2018   07:41 Diperbarui: 31 Desember 2018   08:09 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : technicavita.org

Sebuah kota kecil di sisi selatan Gunung Raung ini terasa sangat berbeda, terdengar sangat berbau Eropa. Bagi yang belum tahu, bisa jadi mereka akan menyangka kalau kota ini berada di benua Biru Eropa. Pemakaian nama yang bergaya Eropa ini memunculkan keingin tahuan siapa saja yang mendengarnya. Ya, Glenmore memang telah menjadi misteri selama ini, bahkah penduduk yang mendiami kota ini pun tidak mengetahui mengapa kota dimana mereka tinggal bernama Glenmore.

Menurut Cerita turun temurun nama Glenmore terambil dari kata Glen dan More, yang berati banyak bukit, akan tetapi cerita ini tidak memiliki bukti empiris yang mendukung kebenaran informasi tersebut.         

Keberadaan Kota Glenmore dalam satu versi tentang Glenmore selalu dikaitkan dengan kepemilikan lahan perkebunan seorang bangsawan Skotlandia yang bernama Ros Taylor di Kabupaten Banyuwangi. Dalam versi ini Ros Taylor memberi nama Glenmore karena terdapat kesamaaan-kesamaan kontur wilayah dengan sebuah wilayah yang bernama Glenmore di negara asal Ros Taylor.

Istilah Glenmore dalam bahasa Gaelig( Bahasa asli Skotlandia) berarti Big Glen yang berarti daerah berkontur perbukitan yang sangat luas.

Pendapat ini akan memunculkan kontroversi karena Ros Taylor berasal dari Skotlandia, padahal pada saat itu Indonesia di jajah oleh pemerintah kolonial Belanda, bukan Skotlandia. Untuk menjawab kontroversi ini kita dapat mengamati perjalanan kolonialisme di Indonesia pasca kebijakan tanam paksa (Cultuurstelsel) Pada masa Gubernur Jendral  Johannes van den Bosch.

Adapun kebijakan tanam paksa ini mulai diberlakukan pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya dua puluh persen untuk ditanami komoditi ekspor,khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. 

Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja tujuh puluh lima  hari dalam setahun dua puluh persen pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.

Selanjutnya tanpa diduga sebelumnya terjadi perubahan konstelasi politik di negeri Belanda dengan berkuasanya kelompok liberal di parlemen Belanda, yang menentang keras kebijakan tanam paksa yang telah diberlakukan di Hindia Belanda. 

Dengan alasan hak azazi manusia, kelompok liberal menentang keras kebijakan tanam paksa yang terlalu banyak mengekploitasi tanah jajahan untuk kepentingan Belanda. Keluarnya Undang-undang Agraria dan Undang-undang Gula pada tahun 1870 dan mengawali masa liberalisasi ekonomi di Hindia Belanda (Indonesia).

Gerakan liberalisme di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Liberalisasi ekonomi ini sebenarnya merupakan cikal bakal paham kapitalisme. Kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. 

Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah tidak ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi semua kegiatan ekonomi akan lebih efisien jika di serahkan kepada mekanisme pasar yang mereka anggap sebagai invisible hand. Maka peran sektor swasta menjadi keharusan untuk menciptakan pertumbuhan dan kesejahteraan di daerah jajahan.  

Tokoh utama yang keluarnya undang-undang Undang-undang Agraria dan Undang-undang Gula ini adalah de Waal, Menteri Jajahan dan Perniagaan Belanda.  Secara umum, Undang- Undang Agraria 1870 bertujuan melindungi hak milik petani atas tanahnya dan penguasaan pemodal asing, memberi peluang pada pemodal asing untuk menyewa tanah dari penduduk Indonesia, dan membuka kesempatan kerja pada penduduk Indonesia, terutama buruh.

Isi terpenting dalam UU Agraria 1870 adalah pemberian hak erfpacht, semacam Hak Guna Usaha, yang memungkinkan seseorang menyewa tanah terlantar yang  telah menjadi milik negara yang selama maksimum 75 tahun sesuai kewenangan yang diberikan hak eigendom (kepemilikan). 

Dalam Undang-Undang Agraria 1870 secara jelas disebutkan bahwa Gubernur Jenderal tidak diperbolehkan menjual tanah pemerintah. Tanah dapat disewakan paling lama 75 tahun. Yang disebutkan sebagai tanah milik pemerintah adalah hutan yang belum dibuka, tanah yang berada di luar wilayah desa dan penghuninya, dan tanah milik adat. Sedangkan tanah penduduk adalah semua sawah, ladang, dan sejenisnya yang dimiliki langsung oleh penduduk.

Dengan diberlakukannya liberalisasi ekonomi di Hindia Belanda akhirnya memberikan kesempatan kepada pemodal asing untuk menanamkan modalnya di Hindia Belanda, dengan membuka lahan hutan dan mendirikan perkebunan-perkebunan tebu, kopi, teh, tembakau, kina dan kopra. 

Industrialisasi pertanian yang terjadi idealnya  harus di mudahkan dengan infrastruktur berupa jalan raya, jalan kereta api, irigasi, pelabuhan dan telekomunikasi yang memadai dan harus disediakan oleh pemerintah sebagai prasyarat masuknya investasi asing di Hindia Belanda.  Pada kisaran masa tahun-tahun 1870 -- 1900 pemerintah Hindia Belanda mulai membangun infrastruktur untuk mendukung industrialisasi di wilayah-wilayah yang ditawarkan kepada para pemodal asing.

Dengan demikian asumsi bahwa pembelian lahan perkebunan oleh Ros Taylor dari Skotlandia kepada pemerintah Belanda dilakukan pada tahun 1909 memiliki keselarasan informasi berdasar perubahan pola kebijakan yang sentralistis menjadi pola kebijakan yang memberikan peran kepada sektor swasta untuk menggerakan ekonomi di Hindia Belanda.

Open Door Policy ini ruang bagi pengusaha asing untuk menanamkan modalnya di Hindia Belanda menjadi terbuka lebar. Asumsi ini diperkuat dengan adanya Traktat Sumatara pada tahun 1871 yang memberikan kebebasan bagi Belanda untuk meluaskan wilayah hingga ke Aceh. Dan sebagai imbalannya, Inggris meminta Belanda menerapkan system  ekonomi liberal di Hindia Belianda sehingga pengusaha asal Britania Raya dapat menanamkan modalnya di Hindia Belanda.

Berdasarkan asumsi-asumsi diatas alasan mengapa pemilik Glenmore adalah bangsawan yang berasal dari Skotlandia terjawab. Seperti kita ketahui bersama bahwa Skotlandia merupakan bagian dari Britania Raya. Selain alasan diatas pembukaan lahan hutan di lereng selatan gunung Raung untuk perkebunan, juga di dukung oleh dibukanya perkebunan-perkebunan lain di sekitar perkebunan Glenmore. 

Perkebunan Treblasala di buka pada tahun 1906 dan dimiliki oleh pengusaha asal Inggris yang bernama Albert, makanya kemudian perkebunannya diberi nama Treblasala, yang merupakan kebalikan nama dari Alas Albert. Kemudian Perkebunan Kendeng Lembu sekitar Tahun 1914.

Salah satu keuntungan yang bisa dirasakan dengan masuknya pemodal asing di wilayah jajahan adalah terjadinya perubahan kehidupan masyarakat dengan meresapnya ekonomi kapital, timbulnya kelas baru, dan tumbuhnya permukiman baru di sekitar perkebunan sehingga kelak akan menjadi kota-kota baru di sekitar perkebunan. Berdasarkan teori ini kebenaran munculnya wilayah baru yang bernama Glenmore memiliki alur historis yang memadai.

Dengan dibukanya wilayah-wilayah hutan menjadi wilayah perkebunan, maka menjadikan wilayah ini menjadi sebuah surga baru bagi masyakat luar daerah khususnya Madura untuk untuk datang mengadu nasib ke Glenmore.

Tercatat tidak kurang dari 833.000 orang Madura pindah ke Jawa timur bagian timur ini. Dari Sumenep tercatat tidak kurangdari 10.000 orang pindah kedaerah ini setiap tahunnya. Dan salah satu nya ke wilayah yang disebut oleh Ros Taylor sebagai Glenmore. 

Namun tidak hanya pendatang dari Madura ada juga dalam kelompok-kelompok non Madura yang masukke Glenmore, misalnya pendatang dari Madiun, Malang, Ponorogo dan kelompok etnis China dan Arab dan lainsebagainya. Hal ini dapat di buktikan sampai saat ini ada beberapa wilayah di Glenmore yang memiliki nama yang ' njawani ' misalnya : Megelenan, Mediunan dan lain sebagainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun