Mohon tunggu...
iqbal fadli muhammad
iqbal fadli muhammad Mohon Tunggu... proletar -

peneliti & digital nomad

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Mengantar Anak (Yatim) di Hari Pertama Sekolah

13 Juli 2016   11:56 Diperbarui: 13 Juli 2016   18:07 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi bersama anak yatim

Anak-anak yatim kami didik melalui pendidikan akhlak & karakter berbasis spiritual sebanyak 18 jam per hari dan sisanya 6 jam mereka belajar pelajaran umum di sekolah formal. Hal ini dilakukan berdasarkan pengalaman, pendidikan yang telah diperoleh  selama 6 jam yang diberikan dari sekolah formal dengan berbagai kurikulum dan metode belum dapat mendidik dan memberikan dampak maksimal pada pola pikir dan perilaku anak. Oleh karena itu saya meyakini bahwa  pendidikan sekolah formal harus ditunjang dengan pendidikan oleh orang tua di rumah, adapun dalam konteks anak yatim para Pembina asrama menjadi garda terdepan dalam mendidik mereka.

Suasana ramai memenuhi sudut sekolah pagi itu, awalnya saya sangat minder karena mayoritas yang hadir adalah para orang tua yang mengantar anaknya, sedangkan saya adalah Pembina asrama yang saat itu baru saja menginjak umur 20 tahun. Namun melihat semangat anak-anak yatim dalam perjalanan ke sekolah tentulah segera menutupi rasa minder dalam diri saya. Di sekolah saya berkenalan dengan guru yang akan menjadi wali kelas dari anak-anak yatim tersebut dan menceritakan maksud dan tujuan saya hadir hari itu. Obrolan kami pun berlanjut dengan pemaparan saya mengenai karakter beberapa anak yatim serta ucapan  terima kasih karena pihak sekolah sudah bersedia menerima anak-anak yatim ini dengan tangan terbuka serta tidak membeda-bedakan dengan siswa/i lainnya. Hal tersebut tentu menjadi momentum yang tidak akan pernah saya lupakan. 

dokumentasi pribadi bersama anak yatim
dokumentasi pribadi bersama anak yatim

Dalam membina anak-anak yatim memang tidak mudah yang dibayangkan, dengan berbagai latar belakang karakter anak yang notabenenya tidak ada pembinaan sejak kecil. Belum lagi tantangan dalam mengenali karakteristik dari setiap anak yatim, karena amat penting mengenali karakter kepribadiaan. Maka dalam rangka hal tersebut, saya beserta para Pembina asrama membedakan dalam mendidik anak yatim dengan 4 karakter kepribadiaan sanguinis (mengajar dengan gembira dan interaktif), koleris (mengajar dengan target & tujuan yang pasti atau serius), melankolis (mengajar dengan teliti dan perlahan), plegmatis ( mengajar dengan perlahan dan santai). Selain itu saya juga membedakan dalam mengejar dengan kecenderungan anak-anak yatim visual (dengan gambar), kinestetik (dengan praktik dan gerakan), auditory( dengan audio dan suara).

Selain itu saya juga mengajarkan anak-anak untuk cerdas dalam mengatur waktu, menghargai orang lain, menghormati orang yang lebih tua, bersosialisasi dengan teman sebaya, mengatur kehidupan sendiri (dari mencuci baju hingga mengurus diri), mengucapkan apresiasi kepada orang lain (seperti terima kasih), permohon maaf ketika melakukan kesalahan, hingga mengajarkan untuk tidak mengambil barang yang bukan miliknya. Dikarenakan hal-hal seperti itu tidak diajarkan secara aplikatif ketika berada di sekolah.

Lebih parah, pernah suatu ketika ada kejadian dimana asrama yatim dikagetkan dengan hilangnya uang infak dari para donatur, setelah diselidiki ternyata ada 3 anak asrama yatim menjadi terduga. Namun ketika sudah disidang mereka tidak mau mengakui bahwa telah menjebol kotak infak ketika para Pembina tidak berada di asrama Yatim. Selidik punya selidik ternyata pelakunya anak yang justru duduk di sekolah menengah pertama (SMP). Namun akhirnya terbongkar karena kecurigaan yang uang hasil infak secara 2 bulan terakhir mengalami penurunan yang signifikan. Alih-alih memperingatkan ke 3 anak itu, para Pembina asrama malah ditantang dengan bukti yang kuat dan berakhir untuk mengadu otot alias berkelahi.

Namun akhirnya para pembina tetap memaklumi anak-anak tersebut, kurangnya perhatian dan pembinaan oleh orang tua sedari kecil serta kurang efektifnya pembinaan dari sekolah menjadi alasan hal ini terjadi. Pendidikan lingkungan dan sekolah memang harus berjalan beriringan. 

Tidak hanya sampai disitu, pernah suatu saat ketika jam pelajaran ada seorang guru dari sekolah datang menemui saya di asrama guna mengkonfirmasi kehadiran salah satu anak yatim kami yang diketahui sudah 2 hari tidak masuk tanpa keterangan. Awalnya guru sekolah itu mengira bahwa anak yatim tersebut ada acara di asrama yatim. Namun sang guru mulai curiga karena biasanya Pembina asrama mengirimkan surat izin apabila ada anak yatim yang sakit ataupun ada acara asrama. Ternyata  esoknya anak tersebut kembali tidak masuk, akhirnya guru sekolah datang ke asrama kami untuk mengkonfirmasi alasan tidak masuknya anak tersebut. Setelah diusut ternyata anak yatim tersebut membolos, dia berangkat sekolah seperti anak-anak biasanya namun di pertengahan jalan membelok menuju warung internet (warnet) untuk bermain games. Dari kasus ini maka amat diperlukannya interaksi serta komunikasi yang baik antara guru dan Pembina asrama guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan sekaligus untuk memantau perkembangan anak selama di sekolah.

Tidak sampai disitu, hubungan komunikasi yang baik membawa Pembina asrama mendapatkan jatah khusus dari kepala sekolah untuk mengajarkan beberapa kegiatan ekstrakulikuler seperti (marawis, teater, bahasa arab, dan pramuka ) di sekolah tempat anak-anak yatim mengenyam pendidikan. Hal tersebut secara tidak langsung membangun mental anak-anak yatim dan mengindarkan mereka dari sikap minder serta memunculkan kebanggaan dalam diri mereka bahwa ternyata tinggal di asrama yatim bukan hal buruk ataupun tempat pengasingan.

Mengantar anak pada "Hari Pertama Sekolah" hanyalah kegiatan seremonial dan simbolis yang menjadi bukti adanya interaksi antara guru, anak murid dan wali murid. Namun alangkah baiknya jika pemantauan dalam mendidik dilakukan oleh guru dan wali murid secara bersamaan. Begitu pula bagi jutaan anak yatim di seluruh Indonesia yang notabenenya tidak memiliki orang tua yang mendidik dan mengajarkan mereka sedari kecil. Mereka adalah tanggung jawab bangsa, termasuk kita sebagai rakyat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun