Pada tahun 1993, saya diikutkan oleh Professor saya dari Hiroshima University, untuk mengikuti sebuah workshop dan konferensi Internasional mengenai pengelolaan dan biologi Lobster di Sanriku, Jepang yang terletak di sisi timur laut pulau Honshu, berdekatan dengan Aomori serta Iwate Prefecture yang memiliki sejarah panjang tentang Lobster. Konon kabarnya para ilmuwan dari seluruh dunia pada waktu itu, perlu untuk membicarakan masalah Lobster.Â
Kenapa lobster? Karena, lobster ditemukan di seluruh samudera beriklim sedang dan tropis dan merupakan salah satu produk makanan laut paling berharga di dunia. Tiga keluarga lobster (Nephropidae, Palinuridae, dan Scyllaridae) ini, terdiri dari sebagian besar jenis lobster yang ada di dunia.Â
Konon kabarnya, kepentingan ekonomi mereka jelas mendorong banyak penelitian tentang lobster. Walaupun begitu minat ilmiah terhadap lobster melampaui kepentingan mereka hanya sebagai makanan yang akan dihidangkan di atas meja.
Para ilmuan ini memahami betul bagaimana lobster mencapai keberhasilan biologisnya adalah merupakan kontribusi ilmiah yang sangat penting. Mereka meyakini juga bahwa lobster berfungsi sebagai organisme "model" yang luar biasa untuk studi masalah perikanan secara umum. Atribut ekologis mereka cukup mirip dengan ikan finfish yang dapat diterapkan secara luas, namun kelimpahannya, mobilitasnya yang lebih rendah, dan kekuatan serta tingkat kelangsungan hidupnya yang rendah menjadikan Lobster sebagai subjek penelitian yang sulit ditelusuri dan menyisakan banyak pertanyaan untuk kalangan sains perikanan.Â
Salah satu makalah yang dibawakan pada konferensi itu adalah "Early life History of Spiny Lobster". Makalah yang ditulis oleh John D. Booth dari Kementerian Perikanan Australia dan Bruce F Phillips dari Kementerian Perikanan Selandia Baru, menjelaskan tentang "kesulitan hidup" lobster di masa mudanya.Â
Kalau kita melihat siklus biologi dari lobster, terlihat bahwa lobster sangat "fragile" di usia muda nya, dan membutuhkan waktu panjang untuk sampai di masa dewasa. Secara filosofis, tahapan larva lobster disesuaikan untuk umur panjang di laut terbuka dan menawarkan kesempatan untuk penyebaran luas walaupun dalam jumlah yang sedikit.Â
Perkembangan awal terdiri dari phyllosoma dari keluarga Palinuridae yang banyak terdapat di Indonesia. Phyllosoma adalah zoea planktonik berumur berbulan-bulan. Setelah berbulan-bulan berkembang di lepas pantai dan perairan samudera, beberapa phyllosomas yang masih hidup kembali ke pantai untuk bermetamorfosis ke tahap puerulus dimana ini merupakan transisi postlarva antara phyllosoma dan juvenile. Setelah lobster ini harus mengarungi ganasnya lepas pantai, dimana persaingan dengan para pemangsa semakin besar.Â
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa persentasi hidup para lobster muda ini hanya berkisar antara 1-3% setelah berjuang di dalam suatu kesulitan hidup yang dipengaruhi banyak faktor.
Dr. William F. Herrnkind, sekarang pensiunan professor di Departemen Biological Science, Florida State University, sudah mengingatkan pada tahun 1977 dengan mengatakan bahwa Lobster sebenarnya adalah entitas biologis yang sangat signifikan: terdistribusi luas, mempunyai banyak jenis dalam satu genus, berukuran besar, berumur panjang, berjumlah besar, memiliki konsekuensi ekologis di dalam suatu ekosistem. Berbasis tingkat kesulitan hidup lobster ini, sejatinya ada suatu data dan mekanisme yang mengatur dinamika populasi lobster.
 Selain itu sejatinya ada rumusan dan uji hipotesis yang bisa menjelaskan evolusi dan fungsi agregasi sosial yang sangat kohesif dari lobster ini. Harus disadari bahwa species Lobster yang ada di Indonesia merupakan species yang sangat penting secara ekonomi dan ekologis di seluruh Samudra Indonesia yang tropis.Â
Pemahaman kita tentang ekologi dan tingkah laku pada fase puerulus sudah sangat baik yang sebetulnya bisa dijadikan pijakan dasar dalam membuat strategi pengelolaan lobster yang berkelanjutan. Sejatinya penelitian tentang ekologi deskriptif sudah harus secara annual dilakukan untuk menguji aspek dinamika perekrutan larva dalam skala besar. Sama halnya dengan teknik biologi molekuler, sejatinya sudah bisa memberikan informasi yang berguna tentang mekanisme rekrutmen larva.Â