Mohon tunggu...
iqbal dawami
iqbal dawami Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bertemu Novelis Dee

14 Maret 2016   06:00 Diperbarui: 14 Maret 2016   07:40 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore itu, di Bandung, saya sedang potong rambut. Sembari menunggu saya, istri saya jalan-jalan. Saat berjalan kaki di jalan Braga, istri saya melihat Dewi Lestari (Dee) dan suaminya sedang duduk-duduk sambil menikmati kopi. Istri saya menghampiri mereka, mengenalkan diri kalau dirinya telah mengkhatamkan seri Supernova, kecuali Intelegensi Embun Pagi (EIP). Dan dia bercerita kalau suaminya juga adalah seorang penulis. Dee kemudian mempersilakan istri saya duduk. Dee begitu ramah terhadap istri saya.

“Wah, suami Mbak penulis juga? Judulnya apa ya? Nanti kalau ke toko buku akan saya cari,” ujar Dee penuh antusias.

“Judulnya Hidup, Cinta, dan Bahagia. Kebetulan  saya bawa bukunya,” jawab istri saya, sembari membuka tas dan mengambil sebuah buku. “Saya kasih untuk Mbak Dee, semoga berkenan membacanya,” lanjut istri saya sambil menyodorkan buku tersebut.

“Wah, terima kasih . Dengan senang hati saya akan membacanya,” ujar Dee dengan senyum yang mengembang. Dee kemudian membaca judul dan sinopsis yang ada di belakang kover buku tersebut. “Saya akan baca begitu sampai di rumah. Saya doakan, suami Mbak sukses dalam karir kepenulisannya, ya!” Lanjut Dee.

Istri saya kemudian mengucapkan terima kasih dan meninggalkan Dee dan suaminya.

“Jadi kamu ketemu Dee di jalan Braga dan memberikan buku kepadanya?”tanyaku.

“Iya. Kenapa? ”

“Waduh, malu tau bukuku dibaca sama dia. Tau gak, Dee itu penulis salah satu penulis top di Indonesia lho. Aku gak ada apa-apanya.”

“Kenapa memang kalau dia lebih top dari kamu? Saya lihat dia biasa saja, tetap rendah hati dan begitu ramah sama aku. Malah dia mendoakan kamu lho, sayang. Aku salut sama dia,” ujar istri saya.

***

Cling... bunyi email masuk di smartphone-ku. Oh, My God, dari Dee. Gila... deg-degan bangat mau bacanya.

 

Dear Mas Iqbal,

Halo, Mas Iqbal, saya sedang membaca buku Anda. Tulisan Mas Iqbal bagus sekali. Saya benar-benar menikmati di setiap kata yang Anda tulis. Betul kata Mas Iqbal, kehidupan ini sebetulnya terkait betul dengan soal waktu. Menurut saya semua pertanyaan selalu berpasangan dengan jawaban. Untuk keduanya bertemu, yang dibutuhkan cuma waktu. Dan hanya dengan keheningan kita bisa mengapungkan kenangan, mengembalikan cinta yang hilang, menerbangkan amarah, mengulang manis keberhasilan dan indah kegagalan. Hening menjadi cermin yang membuat kita berkaca-suka atau tidak pada hasilnya. Overall, saya suka dengan buku Anda.

Ok, Mas Iqbal, segitu dulu ya. Akan saya baca buku ini hingga selesai, dan dengan suka cita akan saya rekomendasikan kepada para pembaca buku saya. Saya doakan Anda sukses dalam meniti karir di dunia kepenulisan. Yuk kita sama-sama sukses.

Pesan saya untuk Anda seperti yang saya tulis di novel Petir, “Percaya bahwa di dunia ini tak ada yang sia-sia. Membiarkan hidup dengan caranya sendiri menggiring kita menuju sebuah jawaban.”

Salam untuk istri ya,

Dee

 

Speechless... Saya tidak bisa mengatakan apa-apa setelah membaca email dari Dee. Saya masih tidak percaya dengan barusan yang saya baca. Hati dan pikiran saya terasa ‘nyess’, sejuk sekaligus emosional. Baru kali ini saya mendapatkan respons yang luar biasa dari penulis ternama. Sungguh, hal itu memberikan energi yang dahsyat bagi saya untuk menekuni dunia kepenulisan ini.

Saya benar-benar mengagumi hatinya seperti halnya mengagumi karya-karyanya. Kerendahan hati dan kepedulian terhadap penulis pemula (semacam saya) itulah yang barangkali menjadi pembeda dengan penulis top lainnya. Saya berdoa semoga Dee selalu diberi kesehatan dan keistiqamahan dalam kebaikan.

Sepertinya mata saya basah. Apakah saya menangis terharu?

Makin lama makin basah mata saya.

Astaga, ternyata istriku memercikan air di kedua mataku.

“Pak! Bangun, bangun!!! Kok susah amat buka mata. Mimpi apa sih?  Sudah azan subuh lho, ayo shalat!”

“Kita masih di kota Bandung kan, Ma? Tadi Mama ketemu Dee kan?” tanya saya.

“Kota Bandung? Ketemu Dee? Ah Bapak ini ada-ada saja. Dari dulu ngomongnya Bapak mau ngajak aku sama Aghza main ke Bandung, tapi gak pernah jadi!” ujar istri saya.

Oalah ternyata mimpi.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun