Edward Said, penulis buku Orientalism, sukses menjadikan bahasan soal 'orientalisme' menjadi perdebatan panjang sejak awal buku ini diterbitkan, pada tahun 1978, hingga bertahun-tahun sesudahnya. Gagasan dan sudut pandangnya soal 'orientalisme' yang tertuang di dalam buku tersebut, sukses menggugat sarjana-sarjana Eropa soal cara pandang mereka dalam merumuskan definisi 'orientalisme'. Orientalisme sendiri, menurut Said, merupakan cara pandang sarjana-sarjana Barat Eropa dalam memahami dunia Timur. Lebih lanjut, menurutnya, orientalisme adalah gaya berpikir yang di-design untuk membedakan Timur, yang biasa disebut dengan the Orient, dan Barat, yang biasa disebut dengan the Occident.
Seperti yang sudah penulis sebutkan di awal, buku Orientalism karya Edward Said sukses membuat perdebatan panjang. Ada ilmuwan yang setuju dengan gagasan yang dituangkannya dalam buku tersebut, namun ada juga yang tidak setuju, serta secara terang-terangan menyampaikan kritiknya terhadap gagasan Edward Said itu dalam berbagai media, seperti artikel jurnal, buku, hingga penyampaian lisan. Akan tetapi, atas tuntutan soal tentunya, dalam esai kali ini penulis tidak akan mengulas soal berbagai kritik atau dukungan terhadap gagasan Said tersebut. Pada bagian pertama esai ini, penulis akan terlebih dahulu memparkan secara ringkas soal apa itu gagasan soal orientalisme yang dicetuskan oleh Edward Said. Bagian setelahnya, penulis akan mencoba mengambil satu isu kontemporer politik, entah isu Indonesia ataupun isu yang berhubungan dengan Indonesia, serta merelasikannya dengan pemikiran atau gagasan orientalisme dari Edward Said itu sendiri.
Edward Said soal Orientalisme
Said dalam buku nya yang berjudul Orientalism itu lebih tepatnya mencoba untuk mengkritik 'orientalisme' dan cara pandang sarjana Barat Eropa kebanyakan soal Timur. Orientalisme modern sendiri dimulai sejak abad ke delapan belas, dimana penyajian soal dunia Timur sudah cukup banyak tersaji. Nah, dalam masa-masa awal orientalisme modern itu, Timur, sayangnya, hanya didefinisikan dari sudut pandang sarjana Barat, atau dalam hal ini Said menyebutnya dengan sudut pandang kolonialisme. Timur, dan manusia Timur, dianggap lebih rendah daripada Barat.Â
Timur dianggap lebih irrasional, bejad moral, kekanak-kanakan, primitif, tidak normal, dan pandangan-pandangan merendahkan lainnya. Sudut pandang orientalis modern awal ini pada akhirnya merembet bukan hanya ke tulisan-tulisan ilmiah sarjana Barat ketika mendefinisikan Timur, tapi juga ke karya-karya lain dari Barat, seperti penyair, novelis, filsuf, teoritikus politik, ekonom, para administrator negara, dsb. Hal ini lah yang coba ditolak Edward Said dalam bukunya tersebut. Ia seolah berbicara sebagai wakil dari sarjana Timur, yang menolak diukur dan didefinisikan mengenai dirinya dari sudut pandang Barat. Orientalisme, menurutnya adalah gagasan, konsep, khayalan, tentang penjabaran dunia Timur itu sendiri.
Singkatnya, orientalisme menurut pandangan Edward Said bukan hanya sebatas disiplin ilmu yang berfungsi menggambarkan bagian Timur, tetapi juga menjadi instrument politik untuk mendominasi, mengatur, dan menguasai bangsa Timur itu. Menurut Said, ada beberapa strategi untuk meng-gol-kan tujuan tersebut. Pertama, orientalis merepresentasikan Timur dengan membuat perbedaan besar antara Timur dan Barat. Sarjana-sarjana Barat memproyeksikan semua gambaran positif kepada dunianya sendiri. Pada saat yang sama, mereka membuang citra negatif kepada dunia Timur.Â
Citra-citra negative yang dimaksud adalah, seperti yang penulis sebutkan di paragraph sebelumnya, yakni bangsa Timur itu terbelakang, despotik, mistis, misterius, dsb. Kedua, masih berhubungan dengan yang pertama tadi, orientalis melakukan monopoli representasi, dengan menyatakan bahwa tidak ada yang layak dan mampu menceritakan, atau mendefinisikan tentang Timur, kecuali orang-orang ataupun sarjana-sarjana Barat. Mereka mengampanyekan anggapan bahwa Timur tidak memiliki kemampuan untuk menampilkan diri mereka sendiri. Oleh karena itu, dibutuhkanlah kehadiran Barat. Bagi penulis sendiri, hal ini tidak ayal sebagai semacam pembenaran kolonialisme, pembenaran invasi Eropa ke seluruh dunia, utamanya dunia Timur.
Karya Orientalism Edward Said ini pada akhirnya seperti membuka tabir wacana Poskolonialisme. Melalui karya ini, kita diminta untuk kembali melihat studi tentang kolonialisme. Kenyataan bahwa karya ilmiah sarjana-sarjana Barat pada masa sebelum buku ini terbit mengandung unsur orientalis tadi, membuat kita menyadari bahwa karya-karya ilmiah tersebut tidak sepenuhnya bermotivasi akademik, namun juga sarat akan motivasi politik dan penaklukan. Â
Hubungannya dengan Isu Terkini
Karya tersebut, yang mana pada akhirnya membuka wacana lebih lanjut soal poskolonialisme, membuka mata kita bahwa masih ada persoalan poskolonialisme disekitar kita. Salah satu yang menarik bagi penulis adalah soal isu senjata nuklir, dimana Indonesia sendiri merupakan bagian dari negara yang menandatangani deklarasi ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom, and Neutrality), yang mana salah satu isinya adalah untuk tidak mengembangkan, memproduksi, ataupun membeli, mempunyai atau menguasai senjata nuklir. Deklarasi ini berlaku di kawasan ASEAN. Selain itu, Indonesia sendiri juga aktif dalam berbagai perjanjian internasional untuk tidak mengembangkan senjata nuklir, baik secara vertikal maupun horizontal.
Namun demikian, bagi negara-negara maju, mereka tetap memiliki senjata nuklir, padahal salah satu dari berbagai perjanjian internasional yang ada soal nuklir juga berbicara soal pelucutan senjata. Hal ini terjadi karena adanya berbagai pandangan bahwa negara maju lebih berhak memiliki senjata nuklir, dibandingkan negara berkembang, karena mereka lebih bertanggung jawab dan dewasa, ketimbang negara berkembang yang mereka anggap ceroboh dan kekanak-kanakan.Â
Indonesia sendiri selalu menekankan agar pelucutan senjata nuklir dihormati oleh negara-negara nuklir, dengan batas waktu yang jelas sesuai perjanjian. Indonesia pun aktif memperjuangkan agar hak setiap negara untuk memanfaatkan energi nuklir untuk maksud damai tetap dihormati, bukan malah diremehkan. Kepemilikan senjata nuklir, as a weapon dan as a research membuat negara-negara maju yang memiliki nuklir memiliki posisi tawar yang jauh lebih tinggi dari negara-negara berkembang, seperti Indonesia salah satunya.
Senjata nuklir yang sejatinya telah dideklarasikan untuk kepentingan perdamaian, justru digunakan oleh negara-negara maju untuk melanggengkan dominasi-nya. Negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang termasuk the Orient dalam karya Edward Said, tidak diberikan kesempata dan bahkan dianggap remeh, serta tidak mampu untuk mendewasakan dirinya ketika memiliki ataupun mengembangkan senjata nuklir. Pada akhirnya, anggapan tersebut persis seperti apa yang dikatakan oleh Edward Said, dalam bukunya yang berjudul Orientalism itu. Â
Referensi :Â
Diputra, R. (2016, February 04). Konsekuensi yang Harus Diterima Jika Indonesia Punya Senjata Nuklir. Retrieved from okezone.com: https://nasional.okezone.com/read/2016/02/04/337/1304738/konsekuensi-yang-harus-diterima-jika-indonesia-punya-senjata-nuklir?page=2
Nailufar, N. N. (2020, January 09). Perjanjian Senjata Nuklir; Isi, Pelanggaran, dan Posisi Indonesia. Retrieved from kompas.com: https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/09/173000369/perjanjian-senjata-nuklir--isi-pelanggaran-dan-posisi-indonesia?page=all
Rachmat, A. N. (2019, February). Kritik Postkolonialisme Terhadap Dominasi Negara Barat dalam Isu Senjata Nuklir. Retrieved from fisip.unjani.ac.id: http://fisip.unjani.ac.id/wp-content/uploads/2019/02/Kritik-Postkolonialisme-Terhadap-Dominasi-Negara-Barat-dalam-Isu-Angga-Nurdin-Rahmat.pdf
Said, E. W. (1985). Orientalism Reconsidered. Cultural Critique, No. 1 , 89-107.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H