Aku berusaha membela diri. Jelas, karena aku ingat Kak Ardi pernah sungguh-sungguh mengatakan itu di depanku.
"Iya, itu kan karena waktu itu kamu dapat penghargaan dari sekolah. Bintang kelas, apa itu kurang jelas?"
"Aku tahu, tapi ini kan bukan urusanmu! Hargai dong, aku juga butuh privasi!"
Mukaku memerah padam, semerah saus sambal yang tersisa tinggal setengahnya. Restoran ini terkenal dengan sambalnya yang ekstra pedas, tapi rasanya hari ini kata-kata Linda jauh lebih pedas.
"Mbak, mau pesan sekarang es kelapanya?"
Beruntung, seorang pelayan datang melerai pertengkaran kami berdua.
"Nanti saja mbak, orangnya belum datang"
"Oh, baik kalau begitu. Tapi maaf, karena sebentar lagi kami akan tutup, pemesaran terakhir kami layani sampai 30 menit lagi. Kalau ada yang mau dipesan lagi panggil saja ya mbak."
Pelayan itu pun berlalu, sambil membereskan mejaku dan meja-meja di sekitar yang kini tak lagi ditempati. Sepiring ayam sambal kesukaanku pun diangkutnya, dan membiarkan segelas teh manis yang sudah kosong, sekosong harapanku malam ini. Ia tak berani menyentuhnya, karena sedotannya terus saja kupegangi.
Pesan terakhir. Aku kembali teringat akan pesan terakhirmu, sore itu. Setelah sekian lama memilih lupa, akhirnya tersadar bahwa pesanmu itu hanyalah pesan lama. Kulihat dari tanggalnya, lewat 3 tahun dari yang seharusnya.
Harusnya, dan harusnya.