Kepala saya sudah benar-benar pusing di tiga minggu terakhir dan mungkin akan berlanjut hingga beberapa bulan ke depan. Mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dari para dosen yang telah diunggah di e-learning yang digunakan kampus yang tak jarang down dan berakibat pada gagal dan telatnya pengumpulan. Belum lagi kebijakan kampus tentang presensi yang dihitung dari keaktifan di e-learning, membuat saya lebih sering mengecek e-learning ketimbang sistem akademik seperti kala kuliah offline.
Semester ini agak beruntung buat saya yang sedang berkuliah di jurusan terkait dengan IT karena tidak ada praktikum yang terkait dengan coding. Walaupun begitu, semester tiga bagi saya memang cukup mengejutkan karena sudah bukan lagi tingkat pertama yang kala itu masih belajar hal-hal dasar semacam kalkulus, diskrit, atau bahasa Indonesia.
Sejujurnya, saya sudah lelah melakukan hampir seluruh aktivitas di rumah saja. Setiap hari hanya berkutat di situ-situ saja, sangat kontras dengan kebiasaan saya kala masih bisa merasakan perkuliahan langsung di kampus.Â
Saat di kampus, pagi sekali berangkat meninggalkan kamar asrama (FYI, tahun pertama di kampus penulis wajib di asrama) atau jika tidak ada kelas pagi maka agak siang saya memilih nongkrong di perpustakaan. Kehidupan saya hanya berkutat pada tempat-tempat itu saja. Baru pada menjelang senja, atau malam hari baru kembali ke asrama untuk bersih-bersih dan kemudian istirahat.
Semakin lama juga saya semakin malas untuk sekadar menengok berita hari ini. Kasus yang masih saja terus naik dan masih belum terlihat puncaknya. Cekokan kabar baik juga malah makin membuat mual pikiran saya yang lebih menuntut kejelasan dari kisah pandemi di negeri ini. Di mana-mana digaungkan "kata-kata ajaib" untuk menerapkan protokol kesehatan, tapi nyatanya suasana masih tak jauh berbeda dengan yang terlihat sebelum wabah melanda.
Sudah berapa kali saya melihat berita tentang kafe dan restoran tidak menerapkan protokol kesehatan dengan baik, kerumunan-kerumunan masih seolah dibiarkan, apalagi yang "dibuat" orang penting. Belum lagi tentang rencana pemerintah melaksanakan pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) serentak di beberapa daerah. Daerah saya tidak ada penyelenggaraan saat ini, jadi masih merasa aman walau sebenarnya juga sangat berisiko tinggi untuk dampak nasional.
Dengan dalih ekonomi yang sudah dikatakan resesi saat ini, apakah kita terus melaju seolah tanpa tujuan? Lalu, jika kondisi katanya "sudah terkendali", mengapa tidak dibuka sekalian kegiatan lain semacam kegiatan pendidikan, peribadatan, dan hal-hal lainnya yang masih dibatasi sampai saat ini? Pantas saja bila menurut beberapa orang, menyelamatkan diri sendiri dan keluarga menjadi hal mutlak yang harus dilakukan saat ini.
Saya pribadi masih beruntung. Perusahaan bapak saya di bidang mebel masih bisa berjalan dan ekspor masih bisa dilakukan, dan saya masih bisa ikut nebeng Wi-Fi setiap hari di kantor untuk mengikuti perkuliahan.Â
Dengan suasana kantor yang adem karena terdapat AC dan cukup kondusif untuk belajar, kontras dengan kawan-kawan lain yang mungkin perlu berpikir ribuan kali untuk membeli kuota internet atau melangkah jauh berpanas-panasan hanya untuk mencari sinyal.
Pemerintah memberikan kuota gratis untuk mahasiswa? Iya, tapi untuk mahasiswa perguruan tinggi negeri (PTN). Namun, buat kami yang berkuliah di kampus swasta, janji hanyalah janji.Â
Saya hanya membaca berita terkait pernyataan Menteri Keuangan yang menyatakan bahwa kuota tidak didapatkan untuk mahasiswa PTS. Entah pernyataan mana yang bisa diandalkan, karena sering kali berubah-ubah. Ketika orang-orang menanyakan tentang hal itu, jawaban saya hanya sederhana.
"Berharap kok sama pemerintah. Dapat ya bersyukur, nggak juga ya jangan ngarep"
Jujur, saya rindu untuk sekedar menikmati rindang pohon di sepanjang jalan kampus bagian belakang di saat bagian lain kampus saya dikatakan sebagai neraka dan sering tercium bau cokelat dari pabrik sebelah kampus. Bercengkerama dan diskusi tentang perkuliahan bersama teman-teman, atau sekadar melirik gebetan di fakultas sebelah yang hari ini entah bagaimana kabarnya. Dan ini bukan hanya saya, tapi mungkin mewakili jutaan siswa dan mahasiswa yang terpaksa belajar dari rumah karena pandemi.
Saya tidak pernah menyalahkan pandemi ini. Sia-sia saja saya mengutuk ini-itu tapi hal tersebut tidak mengubah kondisi saat ini. Namun, seharusnya ada solusi paling solutif yang bisa dilakukan. Saya memang bukan mahasiswa kesehatan, sudah saya jelaskan sebelumnya bahwa saya adalah mahasiswa di bidang IT, tapi ada beberapa hal yang bisa saya pelajari dari orang-orang yang benar-benar paham tentang penanganan wabah saat ini.
Dengarkan para ahli yang sedari dulu meminta penanganan secara serius. Saya tidak tahu bagaimana realisasi yang bisa diterapkan seperti apa, tapi nyatanya yang disebut Pembatasan Sosial Berskala Besar tidak berjalan efektif. Pergerakan manusia masih bisa leluasa, dan itu memicu penyebaran ke berbagai wilayah.Â
Belum lagi soal pelacakan dan testing yang dikata masih di bawah standar. Sampai sini saja saya mengomentarinya, saya menyadari bahwa tidak cukup ilmu untuk berbicara hal semacam ini.
Sebagai rakyat biasa yang tidak cukup pandai dalam ilmu kesehatan dan perwabahan, saya, dan mungkin mewakili jutaan manusia berharap supaya ada penanganan terbaik dari pihak berwenang terhadap pandemi ini.Â
Saya berharap tidak ada kontradiksi ucapan atau drama-drama politik yang terus muncul. Semoga pandemi cepat berlalu dan segera pulih kembali hal-hal yang bisa kami lakukan sebelumnya. Kami tunggu kebijaksanaannya, Pak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H